(Catatan Penulis: Penulis belum membaca Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (2003) karya Muhidin M. Dahlan, sehingga reviu ini murni kesan dan kritik untuk film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (2023) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Reviu ini juga akan dipenuhi dengan spoiler akan beberapa skenario dalam film untuk memperjelas kritik penulis lebih rinci)
“Aku ingin mencintaimu dalam diam, ya Allah.” Pernyaataan ini jadi kalimat pembuka film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa.
Mengetahui premis filmnya sebelum diputar, saya rasa pembukaan ini begitu menggambarkan keseluruhan cerita yang akan ditunjukkan ke depannya.
Beragama sering kali jadi tempat individu merasa lebih berdamai dengan diri sendiri, menemukan jawaban, dan memilih jalan. Namun, tak jarang beragama juga jadi medan perang saat tafsiran pada ajaran Tuhan beradu antarmanusia.
Kiran lalu menyatakan lebih lanjut di tengah film, bagaimana dalam tafsiran agama, orang dibuat takut soal neraka dan dikontrol dengan diimingi surga. Bentuk kontrol dalam film secara menusuk menggambarkan dunia patriarki. Sebuah konstruksi sosial akan superioritas laki-laki di atas perempuan.
BACA JUGA: Film ‘Totto-chan: the Little Girl at the Window’ Refleksikan Pentingnya Pendidikan Inklusif
Tuhan, Izinkan Aku Berdosa adalah sebuah film drama Indonesia yang disutradarai Hanung Bramantyo. Film tersebut diadaptasi dari novel berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya Muhidin Dahlan. Penayangan perdana film ini berlangsung di Jogja Netpac Asia Film Festival (JAFF) di Empire XXI Yogyakarta pada 1 Desember 2023. Film ini menampilkan Aghniny Haque sebagai Nidah Kirani atau Kiran, Djenar Maesa Ayu sebagai Ami, Donny Damara sebagai Tomo, Andri Mashadi sebagai Da’arul, dll
Tuhan, Izinkan Aku Berdosa menggambarkan sebuah permohonan ironis seorang perempuan di tengah gejolak situasi Tuhan-nya mengizinkan para laki-laki munafik berdosa dengan memanfaatkan ketimpangan kuasa yang mereka miliki. Sebuah kontradiksi yang tragis, iya. Ketimpangan kuasa muncul berulang kali, dari segi hierarki dalam keagamaan, ekonomi, ketimpangan kemampuan fisik, dan patriarki.
Suara perempuan distigma buruk: penuh godaan, penyebab adanya nafsu, dan penuh bohong. Berbanding terbalik, laki-laki begitu baik: logis, patuh pada Tuhan, sayang keluarga, penyelamat perempuan dan kelompok rentan, bahkan perpanjangan kuasa Tuhan.
Kiran adalah seorang perempuan muslim, muda, dan berasal dari kelompok ekonomi bawah. Ia berulang kali mengalami penindasan sosial, kekerasan, dan pengkhianatan–ketragisan berlapis serta berulang karena identitasnya yang minoritas secara sesilangan.
Kritik Sosial yang Tanggung
Sepanjang film, saya teringat artikel keluaran Konde.co beberapa waktu lalu soal bagaimana film Siksa Kubur (2024) yang disutradarai Joko Anwar dinilai penulis sebagai film yang tanggung. Tepatnya, tanggung dalam mengkritik realitas sosial yang ada sekarang.
Kedua film ini ada kesamaan, ada pesan agamis yang seakan dipaksakan masuk di penghujung cerita. Ada upaya menginvalidasi segala penderitaan dan penindasan sistemik yang terjadi, baik terhadap Kiran maupun Sita, dari kontrol berlebihan hegemoni maskulinitas lewat skenario mistik.
Pemilihan karakter ibu dan ayah Kiran buat saya begitu heran. Ya ampun, lagi-lagi perempuan–dalam hal ini, sang ibu–ditargetkan jadi peran jahat, mudah dibodohi, tapi di satu sisi diletakkan berantakan tanpa upaya membuat karakternya multidimensional.
Ayah Kiran digambarkan sebagai sosok bapak yang begitu sempurna bak seorang malaikat bagi Kiran, tapi sudah renta. Sebaliknya, ibu Kiran digambarkan begitu jahat: tidak mau mendengarkan anaknya sama sekali sampai memutus hubungan keluarga.
Apakah ini bentuk ekspresi misogini dalam rumah produksi yang tak terelakkan, atau representasi sosial soal misogini yang terinternalisasi dalam jiwa sang ibu? Saya masih belum punya jawaban. Yang pasti, penggambaran karakter sang ibu sebagai penambah beban derita Kiran terkesan dipaksakan, tanpa kejelasan, dan asal tempel.
BACA JUGA: ‘The Architecture of Love’, Sembuhkan Luka dengan Pergi Sejenak dari Rumahmu
Lucu juga, mengingat Kiran yang tengah sekarat malahan mendapatkan monolog ceramah panjang dari ayahnya yang sudah meninggal. Kurang lebih, ucapannya, “Tuhan kasih kita apa yang kita butuh. Bukan apa yang kita mau.”
Saya rasa akan lebih baik jika ayah Kiran mendatangi dan meminta tim SAR untuk menyelamatkan anaknya saja.
Setelah pemerkosaan, penyiksaan, pemfitnahan, dan pengkhianatan yang dilewati Kiran, monolog ini seakan berusaha membenarkan segala situasi opresif yang selama ini dihadapkan kepadanya. “Tuhan kasih kita apa yang kita butuh? Bukan apa yang kita mau?.” Saya bertanya-tanya.
Apakah itu yang Kiran mau … mencari keadilan sendiri sampai hampir mati?
Hidup dicaci maki dan difitnah sana-sini?
Dimiskinkan oleh negara sampai Kiran sekeluarga hidup susah?
Sistem opresif yang semena-mena mengambil hak otonomi dan hidup perempuan?
Penindasan berbasis gender dan kelas ekonomi?
Penggerebekan, perenggutan privasi berdalih Kiran yang dinilai sebagai pendosa?
Paradoks Melawan dalam Beriman
Saya rasa konstruksi harus menerima segala sesuatu yang ditumpahkan kepada kita adalah doktrin yang sangat Orde Baru-is. ‘Damai’ terjadi saat tidak ada yang mengkritisi, merusuh, melawan, dan berupaya menemukan kebenaran. Konsepsi ‘damai’ dibuat-buat agar kita patuh dan iya-iya saja jika yang berkuasa bicara untuk menguntungkan penguasa. Sebuah ketidakadilan yang paripurna.
Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa bisa jadi bergenre socio-horror, saya rasa, bagaimana film ini menggambarkan realitas bahwa para pendosa munafik tak perlu merefleksikan diri seperti yang Kiran lakukan, semata karena punya kuasa.
Tuhan, Izinkan Aku Berdosa berhasil menghadirkan ketimpangan yang ironis, bagaimana konsekuensi bagi para pendosa munafik banyaknya terlihat hanya bak rintangan kecil dalam hidup mereka, sedangkan segala perlawanan yang Kiran lakukan berbuah rasa ingin menyakiti diri, mati, dan menentang Tuhan-nya.
Kiran bisa jadi secara eksplisit menentang, menunjuk, dan menantang Tuhan-nya. Menggelitiknya, film ini juga menggambarkan bermain Tuhan yang dilakukan secara culas oleh orang-orang yang memanfaatkan kepatuhan pemeluk agama untuk kepentingannya sendiri. Misal, lewat kisah tunjangan yang tidak dibayarkan masjid dan praktik poligami oleh Ustaz Abu Darda.
Ini bukan soal agama, apalagi satu agama secara spesifik. Ini adalah soal orang-orang yang bermain Tuhan dengan memanfaatkan iman orang lain untuk dirinya sendiri. Saya juga menemukan pola yang sama di serial The Believer dan The Pig, the Snake and the Pigeon yang mengangkat kasus serupa.
Kita didoktrin untuk tidak banyak berdiskusi soal agama, sebab tabu dan dianggap menentang. Apalagi mempertanyakan permintaan sedekah saat kebanyakan rumah ibadat tidak transparan soal pemasukan dan pengeluaran di dalamnya.
BACA JUGA: Film ‘The Idea of You’: Sulitnya Hapus Stigma Perempuan Tak Boleh Punya Pacar Lebih Muda
Dua film itu menunjukkan soal politisasi agama untuk kepentingan pemimpin dan pengelola rumah ibadatnya yang mungkin berhubungan juga dengan dialog singkat soal tunjangan bagi pekerja yang cuti sakit dalam Tuhan, Izinkan Aku Berdosa.
Selain masalah uang, bermain Tuhan lainnya dalam Tuhan, Izinkan Aku Berdosa ditunjukkan lewat praktik poligami yang sering kali dilakukan dengan alasan “demi kebaikan perempuan”. Walau kenyataannya banyak praktik poligami yang malahan merugikan dan merentankan perempuan.
“Jangan bicara sampai dibilang boleh!.” Setiap melawan, setiap kali bicara kebenaran, Kiran selalu dilarang bicara karena dia perempuan dan bukan pemimpin. Bahkan pemberontakan oleh perempuan itu sendiri dalam hal mencari keadilan terus dibalas dengan persekusi, fitnah, ancaman, dan cemooh yang merugikan perempuan. Perlu diingat bahwa Tuhan, Izinkan Aku Berdosa banyak menampilkan penyiksaan terhadap perempuan yang dapat memicu trauma bagi penonton.
Di luar segala carut-marut hari Kiran, saya mengindahkan segala dialog sejuk dan momen bersolidaritas yang terjadi dalam rumah bordil. Upaya kolektif yang bisa disaksikan juga sehari-hari di sekitar kita. Malahan, jadi sebuah ironi yang terpampang eksplisit, saat kebanyakan skenario dalam rumah ibadat di film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa cenderung panas, mencekam, diskriminatif, dan penuh kekerasan.
Kekecewaan Kiran pada Tuhan tak ubahnya saya lihat sebagai upaya destruksi diri; kekesalan pada tubuhnya sendiri. Kiran dengan sengaja menentang nilai-nilai dalam dirinya: minum alkohol, merokok, berhubungan seksual di luar pernikahan, bahkan sampai menunjuk dan menantang Tuhan. Kiran berusaha menutup luka dengan luka lain, sebuah penggambaran besar bahwa jiwanya sedang tidak baik-baik saja.
Visual yang Ciamik dan Penuh
Di beberapa bagian film, saya menemukan ada permainan warna hijau dan biru. Rumah bordil tempat Kiran merasa aman dan apartemen Kiran sebagai perempuan simpanan didominasi dengan warna hijau. Hijau terasosiasi dengan iri, busuk, dan jijik, tapi juga di sisi lain mendeskripsikan baru, tumbuh, dan harmonis.
Biru saya temukan beberapa kali lewat baju-baju eksentrik para laki-laki yang memiliki simpanan dan melakukan kekerasan terhadap perempuan. Biru terasosiasi dengan keterpercayaan, kekuatan, dan keamanan. Rasa yang familier, tapi pahit.
Saya juga menikmati sedikit banyak visual dalam Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Yang paling berkesan adalah saat dinding di rumah bordil disorot dan menunjukkan poster dua martir Indonesia: Marsinah dan Wiji Thukul. Terlebih lagi, film ini ditayangkan di bioskop pada Mei, bulan kelam penuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak terselesaikan hingga kini.
Marsinah dan Wiji Thukul adalah gambaran nyata adanya penindasan sistemik oleh negara kepada orang-orang yang berusaha bersuara dan merenggut kembali haknya sebagai warga.
Dan Kiran, mungkin, jadi perempuan fiktif yang sosoknya akan serupa perjuangan melawan ketidakadilan dalam jajaran martir seperti Marsinah dan Wiji Thukul di kehidupan nyata. Dibungkam karena benar dan melawan.
Sayang, Kiran Belum Tentu Menang
Secara personal, saya selalu senang dengan film perempuan yang melawan, seperti Fresh, Mask Girl, The Girl with the Dragon Tattoo, atau Lady Vengeance.
Film di atas, termasuk Tuhan, Izinkan Saya Berdosa, mendekonstruksikan peran gender bagaimana perempuan dibebankan harus inferior, diam saat diperlakukan jahat, harus menerima nasib, selalu senyum, tampil cantik, dan lemah lembut. Walau begitu, semua film dan serial di atas punya satu kesamaan: perempuan pada akhirnya harus berjuang mencari keadilan untuk dirinya sendiri.
Akhir film jadi pertanyaan besar, apakah Kiran berhasil menyelesaikan misinya? Atau tidak? Sebab kita tahu, negara dan warga masih punya tendensi memaafkan pelaku kekerasan seksual bahkan yang sudah terpampang nyata melakukan kekerasan. Mungkin saja, Pak Alim saat keluar penjara disambut meriah (jika masuk penjara), dilupakan kasusnya, dapat kembali kerja seperti sedia kala, bahkan menggunakan media massa untuk menyindir dan mereviktimisasi korban. Refleksi terakhir yang berkaca dari kasus SJ.