Pidato berjudul “Hak Asasi Manusia, Gender dan Politik Global: Sebuah Perspektif Interseksionalitas” ini dibacakan Ani Widyani Soetjipto dalam Acara Pengukuhan Guru Besar FISIP UI. Acara berlangsung di Gedung Makara Art Center, Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat pada Sabtu (22/12/24).
Tradisi intelektual yang dominan dalam mempelajari studi Ilmu Hubungan Internasional (HI) adalah realisme. Ada beberapa asumsi dasar dari realisme sebagai paradigma dominan dalam HI. Pertama, negara sebagai aktor paling dominan dalam politik internasional. HI esensinya adalah hubungan antar negara. Kedua, hakikat tujuan negara adalah mementingkan diri sendiri (selfish) mengikuti pemikir realis pramodern dan dilanjutkan oleh para pemikir sesudahnya. Tujuan negara dalam Hubungan Internasional adalah memperjuangkan kepentingan nasional yang diterjemahkan dengan keamanan (security) dan kekuasaan (power).
Ketiga, struktur internasional ditandai dengan hubungan antarnegara dalam struktur internasional yang bersifat anarki. Dalam situasi anarki, satu-satunya cara bertahan hidup adalah menyandarkan diri pada kekuatan nasional. Dalam dunia yang anarki tidak ada yang menolong kecuali dirinya sendiri. Dengan demikian sifat dunia internasional dalam realisme cenderung ditandai oleh konflik daripada kerja sama.
Perkembangan HI Pasca Perang Dunia Kedua
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, dunia telah mengalami berbagai perubahan signifikan. Konflik global yang menghancurkan selama periode perang telah memunculkan kesadaran kolektif mengenai pentingnya menjaga perdamaian, melindungi hak asasi manusia, dan menciptakan sistem tata kelola global yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan.
Salah satu tonggak penting dari transformasi ini adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi pada tahun 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). DUHAM bukan hanya sekadar dokumen hukum, tetapi sebuah deklarasi dan konsensus nilai-nilai universal yang mengikat bangsa-bangsa di seluruh dunia dalam komitmen bersama untuk menjunjung tinggi martabat manusia tanpa diskriminasi. DUHAM menempatkan hak asasi manusia sebagai agenda internasional penting dan menjadi landasan terbentuknya rezim HAM internasional.
Rezim HAM Internasional mengatur dan memberi panduan mengenai prinsip tentang norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan yang disepakati oleh negara dan aktor-aktor HAM lain yang otoritasnya diakui untuk menegakkan pemenuhan HAM bagi seluruh umat manusia.
Baca Juga: Catatan Hitam Hari HAM: Ada Femisida dan Kekerasan Aparat di Tengah Politik Dinasti dan Oligarki
Dengan meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya hak asasi manusia, paradigma yang tadinya menganggap negara sebagai satu satunya aktor paling dominan dalam mengkaji HI pun mulai berubah. Aktor non negara, masyarakat sipil global (CSO), NGO (non-governmental organization) memainkan peran penting tidak saja dalam kontribusinya dalam menyumbangkan pasal-pasal yang tertuang dalam Piagam PBB, namun juga perannya sebagai kekuatan penting dalam menyebarkan norma norma HAM dan monitoring terhadap pelanggaran HAM yang terjadi.
Saat ini, HI mencakup berbagai isu yang sebelumnya dianggap berada di luar lingkup politik internasional, seperti isu keadilan sosial, hak perempuan, migrasi, nasionalisme, multikulturalisme, demokrasi, keadilan ekologis, dan seterusnya.
Perkembangan HAM dalam Studi HI
Hak asasi manusia secara sederhana dipahami sebagai hak dasar fundamental yang melekat pada setiap manusia sehingga mereka bisa hidup penuh martabat. Setengah abad lalu, HAM hanya dianggap sebagai prinsip moral semata yang tidak terlalu esensial. Karenanya ketika membicarakan HAM di tengah dunia yang realis, prinsip HAM sering kali bentuknya hanya ‘Adding Human Rights in IR’ dalam pengambilan kebijakan luar negeri dan kurang dianggap strategis dan penting dibandingkan kepentingan nasional yang lain seperti ekonomi atau pembangunan aliansi antar negara. HAM hanya dilihat sebagai salah satu dari banyak kepentingan nasional yang lain sehingga sering tidak diperhitungkan. Tidak mengherankan jika pemenuhan dan pemajuan HAM sering tergusur oleh kepentingan yang lain.
David P Forsythe, Jack Donnelly lewat berbagai karyanya tentang HAM dalam HI menelusuri bagaimana jejak munculnya norma HAM sampai pada pembentukan institusi HAM. Termasuk bagaimana HAM diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri dan diperjuangkan dalam pembentukan forum bilateral, regional dan multilateral oleh aktor negara maupun aktor nonnegara.
Kelemahan utama dari pendekatan HAM yang bersifat positivistik adalah pengaturan tentang hak harus dilaksanakan oleh otoritas negara dan otoritas politik. Dalam pemikiran positivistik sumber hukum harus tercantum pada undang-undang disertai sanksi bagi pelanggaran UU tersebut. Negara dianggap sebagai sarana untuk perlindungan hak-hak dasar manusia. Kritik bagi pendekatan ini adalah otoritas negara bisa menjadi instrumen yang anti HAM.
Baca Juga: #PerempuHAM: Dikriminalisasi Hingga Dilecehkan, Perempuan Pembela HAM Hadapi Ancaman Berlapis di Indonesia
Sepanjang paruh dekade abad ke-20, HAM bukan isu sentral dalam kajian Hubungan Internasional. Pembahasan tentang HAM lebih banyak dilakukan lewat norm evolution (evolusi norma) dan norms cascade (peningkatan dan sosialisasi norma). Norma-norma HAM diterima secara luas yang menjadi landasan kerja sama antar negara dalam rezim HAM internasional. Masalah dan kritik utamanya adalah norma yang sudah diratifikasi tidak selalu berkorelasi positif pada pelaksanaannya dan memperbaiki kondisi penghormatan HAM di dalam negara masing-masing.
Contoh yang paling nyata saat ini adalah Konflik Israel-Hamas yang telah membawa situasi HAM kembali mundur puluhan tahun ke belakang. Situasi di Gaza melambangkan kegagalan moral yang dilakukan banyak arsitek sistem pasca perang dunia kedua. Mereka gagal menegakkan komitmen mutlak terhadap universalisme dan kemanusiaan kita bersama serta komitmen untuk “tidak akan pernah lagi”. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam PBB, Konvensi Jenewa, konvensi genosida dan hukum hak asasi manusia yang diabaikan.
Studi Gender dalam HI
Hak asasi manusia dan gender sejatinya adalah seperti mata uang yang tidak bisa dipertentangkan diperbandingkan dibenturkan atau dipisah-pisahkan. Membahas HAM di dalamnya secara integral juga membahas tentang kesetaraan dan keadilan gender. Membahas gender berarti juga tidak bisa dilepaskan dan menyatu dengan hak asasi manusia.
Studi Gender dan Hubungan Internasional tidak mungkin dipahami tanpa mempelajari dan memahami pemikiran Feminisme. Feminisme maknanya adalah pendekatan akademik sekaligus gerakan (movement) yang mempelajari bagaimana dunia dipelajari dan dimaknai melalui lensa gender. V Spike Peterson dalam bukunya Gendered states: Feminist (Re) visions of international relations theory menyatakan, “Teori dan praktik Hubungan Internasional selalu tergenderkan dan institusi ekonomi dan politik internasional memuat, memengaruhi dan dipengaruhi oleh pemahaman tentang gender”. Feminisme sebagai gerakan (feminist movement) tujuannya adalah untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksual dan opresi.
Baca Juga: #PerempuHAM: Kisah Bong Suwung Lawan Penggusuran, Pertaruhan Hak Perempuan Pekerja Seks
Feminisme dalam kajian HI bukan sekadar menyangkut persoalan perempuan ataupun sekadar menambahkan perempuan dalam konstruksi laki laki (adding woman in IR). Melainkan menyangkut alternatif cara pandang baru bagaimana seharusnya kita memaknai politik global. Peterson dan Runyan (1999) menyatakan penggunaan lensa gender/lensa feminis membantu kita mendapatkan cara atau sudut pandang berbeda tentang politik internasional. Feminis generasi awal menunjukkan bahwa pemahaman mengenai politik global akan berubah dan berbeda jika pengalaman perempuan ikut menjadi bagian integral dari analisis terhadap fenomena hubungan internasional.
Feminisme dalam HI juga melakukan pemeriksaan ulang pada konsep kunci dari HI seperti kedaulatan, negara atau keamanan. Generasi awal ini menyoroti juga absennya perempuan dalam HI serta subordinasi gender dalam analisis politik internasional dan ekonomi politik global. Feminis HI yang menjadi pionir dari generasi ini adalah Jean Beth Elsthain dengan bukunya women and war.
Aliran klasik feminis liberal dalam HI punya kontribusi penting berupa dokumentasi masalah inequality (ketidaksetaraan dan ketimpangan) antara laki laki dan perempuan. Meliputi ketimpangan dalam hal upah, ketimpangan dalam representasi perempuan di institusi politik global dan absennya perempuan sebagai pemimpin serta minimnya jumlah perempuan di institusi pengambilan kebijakan di tingkat internasional yang berdampak pada pengambilan keputusan yang tidak memperhitungkan kepentingan perempuan.
Baca Juga: #PerempuHAM: Femisida dalam Tragedi 1965, Perempuan Bersuara Lewat Dialita Choir
Feminis liberal meyakini kesetaraan bisa dicapai dengan menghilangkan hambatan di bidang hukum dan politik serta memberi kesempatan dan hak yang sama bagi perempuan (equal opportunity). Pendekatan liberal klasik dan liberal institusional HAM serta pendekatan liberal feminis memiliki banyak keterbatasan menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM secara umum maupun pelanggaran HAM perempuan.
Seperti juga situasi HAM global yang suram saat ini, kemajuan yang tampak pesat dalam hal kesetaraan gender sekarang ini mendapat pukulan keras dan banyak tantangan berat. Fenomena global feminist backlash (pukulan balik) berupa pelecehan dan atau penyerangan baik dalam aksi maupun lewat kebijakan, dihadapi oleh gerakan perempuan karena mereka menentang hierarki dan struktur kuasa timpang yang mengakibatkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Di berbagai belahan dunia kita menyaksikan banyak tantangan yang dihadapi. Kasus-kasus feminist backlash salah satunya bisa dilihat di Amerika Serikat. Kita menyaksikan kemenangan Presiden Donald Trump dari Partai Republik atas calon presiden dari Partai Demokrat Kamala Haris.
Kondisi serupa terjadi di Korea Selatan. Kemenangan presiden Yoon Suk Yeol yang menggunakan kampanye anti feminis (2022) dengan janji merumahkan kembali perempuan termasuk membubarkan kementerian kesetaraan gender juga mendapatkan dukungan luas.
Baca Juga: ‘September Hitam’, Cerita Diva Suukyi dan Para Korban: Kami Menunggu Usut Tuntas Kasus Pelanggaran HAM
Di Gambia, Afrika kita menyaksikan munculnya upaya untuk menghapus larangan/melegalkan kembali pelaksanaan sunat perempuan (female genital mutilation). Di Tiongkok, terjadi sensor terhadap penggunaan terminologi feminis dan juga muatan yang dianggap sebagai pernyataan kebencian dan memantik konflik antargender.
Kasus dan contoh-contoh di atas memperlihatkan diperlukan cara baru/perspektif lain dan pendekatan lain yang lebih kritis yang berbeda dengan perspektif dan pendekatan yang selama ini berjalan. Dibutuhkan pemikiran yang berciri emansipasi dan keberpihakan, dua kata kunci yang bisa membuka pintu bagi perubahan dan transformasi sosial yang lebih berkeadilan.
Sebagian besar scholar feminis HI kontemporer memiliki pandangan yang berbeda dengan kalangan feminis liberal generasi awal. Studi Feminisme dalam HI yang lebih kontemporer, sebagian besar berpandangan bahwa persoalan diskriminasi gender muaranya harus dilihat lebih dalam lewat hierarki gender untuk dapat menjelaskannya dalam konteks kesetaraan.20 21 Studi Gender dan Feminisme dalam HI yang lebih kontemporer tidak lagi menggunakan ontologi gender negara dan gender perempuan sebagai agensi utama dalam analisisnya. Mereka menggunakan gender (relasi kuasa gender) sebagai kategori analisis yang utama.
Perkembangan Teori HI Kritis, Perspektif HAM Kritis dan Perspektif Feminis Kritis dalam HI
Tonggak perkembangan teori HI setelah akhir abad ke-20 adalah berkembangnya teori HI alternatif dan reflektif yang menawarkan perubahan lewat cara kritis dan menggugat pandangan positivisme, empirisme dalam Hubungan Internasional. Ia juga menggugat teori arus utama yang dianggap sebagai pemaksaan atas kebenaran tunggal, dominasi pakar yang dianggap mumpuni, dominasi teks standar serta hegemoni isu dominan yang dianggap sebagai isu HI. Hari ini perkembangan HI sangat dinamis, majemuk dan plural sehingga proses pembelajaran terus-menerus sangat dibutuhkan.
Teori Kritis mempertanyakan kekekalan dari tata dunia yang digambarkan oleh teori positivistik. Teori kritis mendasari cara pandangnya dengan gagasan dunia untuk bergerak ke arah yang seharusnya “taking the world as it should be”. Oleh karena itu, tujuan teori kritis adalah emansipasi dan perubahan. Teori kritis pasca-positivistik fokus perhatiannya pada persoalan ketidakadilan, ketidaksetaraan dan hak-hak (rights).
Landasan teori penting dalam studi HI untuk membantu menjelaskan fenomena empirik yang terjadi sebagai panduan dalam bertingkah laku juga sebagai arena kontemplasi, penilaian, memberi makna dan perkiraan dugaan atas satu peristiwa. Implikasinya adalah adanya ketidaksepakatan diantara para pengajar dan pengkaji HI.
Baca Juga: Kenapa Bandung Tak Seromantis Itu: ‘Minim Fasilitas Publik Ramah Gender sampai Isu Pelanggaran HAM’
Standpoint dalam tulisan ini berpijak pada keyakinan untuk mempelajari HI dengan kacamata kritis untuk bisa mengangkat dinamika politik global yang sangat kompleks. Keterkaitan ontologi, epistemologi kajian HAM, Gender dan HI maknanya adalah agensi utama membahas HI bukan hanya negara tapi juga aktor nonnegara termasuk individu dan civil society organization.
Mempelajari HAM dan Gender dalam HI adalah mempelajari tentang manusia dan kemanusiaan yang tidak banyak dibahas dan bahkan tidak dirujuk oleh tokoh besar dalam disiplin ini dan dianggap sebagai isu marginal. Kritik terhadap perspektif HAM liberal yang klasik memunculkan beberapa perspektif HAM kontemporer yang lebih kritis memandang peran penting yang dimainkan aktor nonnegara dan melihat advokasi yang dimainkan oleh beragam organisasi internasional nonnegara. Misalnya Amnesty Internasional yang berdampak pada kemajuan, penerimaan dan perkembangan prinsip universal HAM (norms evolution-norms diffusion and effectiveness)22. Tulisan tentang advokasi HAM Internasional (transnational human rights advocacy) menjadi bagian penting dari referensi kontemporer yang membahas tentang politik internasional dan HAM.
HAM sering dianggap sebagai konsep universal yang melampaui batas negara, budaya, dan ideologi. Namun, pendekatan kritis dalam kajian HI mempertanyakan klaim universalitas ini dengan menyoroti bagaimana HAM dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan global, ekonomi politik, dan warisan kolonialisme.
Baca Juga: CATAHU 2023: Perempuan Pembela HAM dan Politisi Perempuan Dua Kali Lipat Rentan Jadi Korban Kekerasan
Secara historis, konsep HAM modern muncul setelah Perang Dunia II, yang ditandai dengan pembentukan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948. Pendekatan kritis menyoroti bahwa definisi dan norma yang terkandung dalam DUHAM sangat dipengaruhi oleh pengalaman negara-negara barat, khususnya Eropa dan Amerika Serikat. Hak-hak individu yang ditekankan dalam DUHAM lebih mencerminkan nilai-nilai liberalisme Barat, yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai kolektif yang penting bagi masyarakat adat atau negara-negara di Global South.
Warisan kolonialisme dan imperialisme juga memainkan peran penting dalam membentuk sistem internasional yang ada saat ini, termasuk dalam hal hak asasi manusia. Selama periode kolonial, negara-negara penjajah sering kali menggunakan retorika HAM untuk membenarkan dominasi mereka atas masyarakat yang dianggap “terbelakang”. Perspektif kritis melihat warisan ini sebagai bukti bahwa HAM telah digunakan untuk melayani kepentingan kekuasaan tertentu, baik di masa lalu maupun sekarang. Bahkan setelah dekolonisasi, hubungan kekuasaan antara negara bekas penjajah dan negara bekas jajahan tetap tidak setara, yang tercermin dalam sistem ekonomi dan politik global yang didominasi oleh negara-negara maju.
Dalam sistem internasional modern, HAM sering digunakan sebagai alat politik oleh negara-negara besar untuk mengejar kepentingan geopolitik mereka. Pendekatan kritis dalam HI menunjukkan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, sering kali memanfaatkan isu HAM untuk membenarkan intervensi militer atau sanksi ekonomi terhadap negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka.
Baca Juga: Kisah-Kisah Merawat Diri Perempuan Aktivis Pembela HAM di Tanah Papua
Selain itu, institusi global seperti PBB dan Mahkamah Pidana Internasional, ICC (International Criminal Court) sering kali dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan antara negara-negara besar dan kecil. Perspektif kritis menyoroti bahwa institusi-institusi ini tidak selalu berfungsi secara adil. Mahkamah Pidana Internasional misalnya, cenderung lebih banyak menyelidiki kasus pelanggaran HAM di Afrika dibandingkan dengan kasus-kasus yang melibatkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat atau Rusia.
Dalam konteks ekonomi politik global, pendekatan kritis menyoroti bagaimana sistem ekonomi internasional yang tidak setara memengaruhi perlindungan HAM. Ketimpangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang menciptakan kondisi di mana hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat miskin sering kali terabaikan. Globalisasi ekonomi yang didorong oleh paradigma neoliberalisme, telah memperburuk ketidakadilan ini.
Neoliberalisme juga menciptakan ketimpangan dalam perdagangan internasional yang merugikan negara-negara berkembang. Subsidi pertanian yang diberikan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, misalnya, membuat petani kecil di negara-negara berkembang tidak mampu bersaing di pasar global. Ketimpangan ini tidak hanya memperburuk kemiskinan tetapi juga melanggar hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat di negara berkembang.
Baca Juga: Hamil atau Tak Hamil? Rahim Perempuan Tetap Milik Perempuan
Namun, pendekatan kritis juga menyoroti perlawanan dari negara-negara Global South (dunia ketiga) dan kelompok masyarakat marginal terhadap ketidakadilan ini. Negara-negara berkembang dan masyarakat adat, misalnya, telah memperjuangkan hak-hak kolektif yang sering diabaikan dalam wacana HAM tradisional.24 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) tahun 2007 adalah salah satu contoh penting dari bagaimana kelompok-kelompok marginal ini berhasil menuntut pengakuan terhadap hak-hak mereka. Selain itu, gerakan sosial transnasional seperti Jubilee Debt Campaign dan gerakan perubahan iklim global juga memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak yang sering diabaikan. Seperti hak atas lingkungan yang sehat dan hak atas pembangunan.
Dua studi kasus dapat menggambarkan pendekatan kritis terhadap HAM dalam HI. Pertama, intervensi militer NATO di Libya pada tahun 2011 diklaim bertujuan untuk melindungi warga sipil dari pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim Muammar Gaddafi.25 Namun, banyak kritikus berpendapat bahwa intervensi tersebut lebih didorong oleh kepentingan geopolitik, seperti akses ke sumber daya minyak Libya, daripada komitmen nyata terhadap perlindungan HAM. Kedua, perubahan iklim merupakan isu global yang sangat memengaruhi HAM, terutama di negara-negara berkembang. Masyarakat di Kepulauan Pasifik, misalnya, menghadapi ancaman eksistensial akibat kenaikan permukaan air laut, yang melanggar hak mereka atas tanah, budaya, dan kehidupan. Namun, negara-negara maju yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi karbon sering kali lamban dalam mengambil tindakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Baca Juga: Hari HAM 2023: Jokowi Tak Bereskan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Pendekatan pascapositivis (post-positivism) dalam kajian HI muncul sebagai respons terhadap dominasi positivisme, yang menekankan pendekatan ilmiah dengan pengukuran objektif dan hukum universal dalam menjelaskan dinamika internasional. Berbeda dari positivisme, pendekatan post-positivist memandang dunia internasional sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh nilai, ideologi, dan konteks historis tertentu. Pendekatan ini menolak klaim objektivitas mutlak, mengingat bahwa pengetahuan manusia selalu diwarnai oleh perspektif, pengalaman, dan posisi sosial tertentu. Dalam hal ini, postpositivism berupaya membongkar struktur dominan yang sering kali tidak terlihat dalam narasi besar politik internasional. Dengan menekankan diskursus, agensi, dan subjektivitas, pendekatan ini membuka ruang untuk menganalisis hubungan kekuasaan, eksklusi, dan ketidakadilan dalam tatanan dunia.
Meskipun memberikan kontribusi penting terhadap kajian HI, pendekatan pascapositivis menghadapi kritik karena dianggap gagal menangkap sifat multilayered atau banyaknya lapisan dari politik internasional. Pascapositivis cenderung terlalu fokus pada konstruksi ideologis dan naratif, tetapi sering mengabaikan bagaimana struktur-struktur material seperti ekonomi, gender, dan rasialisme saling bersinggungan dalam menciptakan ketidakadilan.
Baca Juga: Aturan Turunan UU TPKS Tak Kunjung Ditetapkan, Ini Sederet Hambatannya
Kritik terhadap pascapositivis makin nyata ketika kita mempertimbangkan isu gender dalam HI. Gender sering kali diabaikan dalam teori-teori tradisional HI, termasuk oleh positivisme dan bahkan oleh banyak teori post-positivist. Feminisme, yang muncul sebagai pendekatan alternatif dalam HI, menyoroti bahwa politik internasional tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antarnegara, tetapi juga oleh konstruksi gender yang membentuk bagaimana peran laki-laki dan perempuan dipahami dalam masyarakat global.
Konstruksi gender ini sangat terlihat dalam isu-isu keamanan internasional. Narasi dominan dalam studi keamanan sering kali menekankan ancaman militer dan kekerasan antarnegara sebagai masalah utama, sementara ancaman yang memengaruhi perempuan secara tidak proporsional, seperti kekerasan seksual dalam konflik, sering kali dipinggirkan. Perspektif feminis dalam HI menggarisbawahi bahwa keamanan tidak dapat dilihat secara eksklusif sebagai perlindungan negara dari ancaman eksternal, tetapi juga harus mencakup perlindungan individu dari kekerasan berbasis gender.26
Meskipun feminisme telah memperkenalkan analisis gender dalam HI, pendekatan ini juga menghadapi kritik karena sering kali gagal menangkap sifat interseksional dari pengalaman perempuan. Interseksionalitas, konsep yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw, menunjukkan bahwa identitas seseorang dibentuk oleh berbagai faktor seperti ras, kelas, gender, dan orientasi seksual, yang saling bersinggungan dan menciptakan pengalaman yang unik.
Dalam konteks HI, analisis interseksional menjadi penting untuk memahami bagaimana dinamika kekuasaan global memengaruhi individu dan kelompok tertentu secara berbeda. Misalnya, perempuan kulit hitam di negara berkembang sering kali menghadapi bentuk penindasan yang berbeda dari perempuan kulit putih di negara maju, yang mencakup eksploitasi ekonomi, rasisme, dan seksisme sekaligus.27
Interseksionalitas sebagai Kerangka Kerja Baru dalam Mengkaji HI
Istilah “interseksionalitas” pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw pada tahun 1989. Konsep ini mengakui bahwa kehidupan seseorang dibentuk oleh identitas, hubungan, dan faktor sosial mereka. Kombinasi dari elemen-elemen ini menciptakan bentuk-bentuk privilese dan penindasan yang saling bersilangan, tergantung pada konteks seseorang serta struktur kekuasaan yang ada, seperti patriarki, ableism, kolonialisme, imperialisme, homofobia, dan rasisme.
Interseksionalitas berakar dari kerja-kerja advokasi keadilan rasial dan sosial yang berkembang dalam gerakan hak-hak sipil pada 1950-an hingga 1960-an, termasuk aktivisme dan pemikiran para feminis kulit hitam seperti Angela Davis, Patricia Hill Collins, dan bell hooks. Perbedaan pandangan di kalangan feminis terkait keberagaman dalam kategori “perempuan” yang disuarakan oleh perempuan kulit hitam dan kelompok minoritas lainnya menjadi faktor kunci dalam pengembangan konsep interseksionalitas.
Pada 1980-an, Kimberlé W. Crenshaw, seorang feminis kulit hitam sekaligus ahli hukum, menciptakan istilah “interseksionalitas” untuk menggambarkan tekanan ganda dari prasangka rasial dan gender yang dialami oleh perempuan kulit hitam di Amerika Serikat. Berdasarkan pengalaman hidup perempuan kulit hitam, ia menyoroti bagaimana persilangan antara ras dan gender menciptakan bentuk diskriminasi dan penindasan yang berbeda secara kualitatif. Sejak akhir 1980-an, makin banyak sarjana yang mengembangkan studi diskriminasi melalui lensa interseksionalitas dan memperluas penerapannya ke berbagai bidang. Termasuk namun tidak terbatas pada layanan publik, ketenagakerjaan, perumahan, pendidikan, perawatan kesehatan, dan akses ke keadilan.
Baca Juga: Aktivis Perempuan Iran Narges Mohammadi Raih Nobel Perdamaian 2023
Konsep ini menekankan bahwa individu dan kelompok menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan secara bersamaan, bukan hanya berdasarkan satu faktor identitas. Interseksionalitas tidak hanya sekadar menjumlahkan identitas sosial—misalnya, etnisitas ditambah gender—tetapi menegaskan bahwa dua atau lebih faktor tersebut saling bergantung dan saling membentuk satu sama lain.
Pendekatan interseksional juga mengungkap kompleksitas dominasi struktural dan marginalisasi karena ia mengenali posisi individu sebagai hasil dari banyak struktur sosial. Collins dan bell hooks menggarisbawahi bahwa divisi sosial tidak hanya melibatkan sumbu kekuasaan sosial secara makro, tetapi juga melibatkan orang-orang nyata dalam konteks sosial tertentu.
Pendekatan interseksional menegaskan bahwa diskriminasi berbasis identitas sosial tertentu tidak dapat dilihat secara terpisah. Diskriminasi berbasis gender, misalnya, tidak selalu terjadi dalam ruang hampa, tetapi dapat diperkuat oleh identitas lain, seperti ras atau status sosial ekonomi.
Pendekatan interseksional diperlukan untuk memastikan bahwa mereka yang paling tertinggal dapat dijangkau terlebih dahulu. Hal ini berkaitan dengan upaya untuk mencapai kesetaraan substantif yang lebih dari sekadar kesetaraan formal. Kesetaraan substantif mengacu pada penciptaan kondisi di mana tidak ada orang yang tertinggal termasuk mereka yang berada di posisi paling rentan.
Baca Juga: Komnas HAM Minta Stop Permenaker 5/2023 yang Bikin Buruh Makin Sengsara
Memahami pentingnya interseksionalitas membuat kita bertanya pada diri sendiri siapa yang tertinggal, mengapa, dan dalam kondisi apa. Konsep ini mengidentifikasi penghalang struktural yang tersembunyi dan mendukung pemahaman tentang bagaimana pengalaman individu berbeda, bahkan di dalam kelompok yang sudah terpinggirkan atau kurang terwakili. Kegagalan untuk memeriksa elemen-elemen ini berisiko menggagalkan pencapaian Agenda 2030 dan memperkuat ketidaksetaraan interseksional.
Interseksionalitas telah umum dipertimbangkan dalam konteks prinsip nondiskriminasi dan kesetaraan yang merupakan inti dari hukum HAM internasional. Prinsip ini dijamin dalam berbagai instrumen internasional, termasuk Piagam PBB, DUHAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Selain itu, Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan juga menjamin pelaksanaan HAM dan menetapkan daftar dasar larangan diskriminasi, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal kebangsaan atau sosial, keturunan, kekayaan, kelahiran, dan status lainnya.
Interseksionalitas adalah kerangka kerja yang memungkinkan kita memahami bagaimana diskriminasi tidak terjadi secara tunggal tetapi melalui pengalaman yang bersifat bertumpuk. Dengan memahami interseksionalitas, kita dapat menciptakan kebijakan dan layanan publik yang lebih adil, inklusif, dan berkeadilan.
Baca Juga: Aktivis: Pembangunan Eco City Rempang Tak Berperspektif HAM
Interseksionalitas bukanlah suatu pendekatan yang monolitik. Banyak dinamika dan perdebatan yang mewarnai perjalanannya semenjak dicetuskan konseptualisasinya oleh Crenshaw pada 1989 yang datang dari tradisi black feminism. Salah satu “perdebatan” dalam konseptualisasi misalnya dalam perihal potensi terjerumusnya interseksionalitas ke dalam diskursus hegemonik politik identitas (yang liberal), yang mudah terjebak ke dalam logika penyeragaman pengalaman berdasarkan kategori identitas tertentu (logic of segregation).28
Kebutuhan untuk mengembangkan pendekatan interseksional dalam HI menjadi makin mendesak ketika kita mempertimbangkan bagaimana isu-isu global, seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, dan konflik bersenjata, memengaruhi individu secara berbeda berdasarkan identitas mereka. Perubahan iklim, misalnya, memiliki dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan miskin di negara berkembang. Ketika bencana alam terjadi, perempuan sering kali menghadapi risiko yang lebih besar karena mereka lebih bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka dan sering kali memiliki akses yang lebih terbatas ke bantuan dan perlindungan. Namun, wacana internasional tentang perubahan iklim sering kali didominasi oleh perspektif teknokratis yang mengabaikan dimensi gender dan rasial dari krisis ini.
Dalam isu perdagangan internasional, pendekatan interseksional juga dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana kebijakan ekonomi global memengaruhi perempuan di Global South. Salah satu contohnya adalah kebijakan penyesuaian struktural yang diberlakukan oleh lembaga-lembaga seperti Bank Dunia dan IMF sering kali berdampak negatif pada perempuan, yang menjadi mayoritas pekerja di sektor informal.
Baca Juga: Pemerintah Bertemu Eksil di Eropa, Janji Pulihkan Hak Korban Pelanggaran HAM
Konflik bersenjata juga menawarkan contoh penting tentang bagaimana pendekatan interseksional dapat memperkaya analisis dalam HI. Selain kekerasan seksual, perempuan sering kali menghadapi bentuk kekerasan struktural yang tidak terlihat, seperti pengusiran dari tanah mereka atau keterbatasan akses ke layanan kesehatan dan pendidikan di wilayah konflik. Namun, pengalaman ini tidak hanya ditentukan oleh gender mereka, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti etnis, agama, dan status ekonomi. Perempuan Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar menghadapi diskriminasi ganda, baik sebagai perempuan maupun sebagai anggota kelompok minoritas yang dianiaya. Pendekatan interseksional dalam HI dapat membantu mengungkap dinamika ini dan mendorong kebijakan yang lebih inklusif dan adil.
Pentingnya mengadopsi pendekatan interseksional dalam HI juga dapat dilihat dalam upaya untuk memahami dampak kebijakan global terhadap kelompok minoritas gender dan seksual yang sering kali menjadi dasar diskriminasi di banyak negara, yang memengaruhi akses individu terhadap hak-hak dasar seperti pekerjaan, pendidikan, dan perlindungan hukum. Namun, pengalaman komunitas minoritas gender dan seksual juga beragam dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ras, kelas, dan lokasi geografis.
Dengan mempertimbangkan semua contoh tersebut, menjadi jelas bahwa pendekatan post-positivist dalam HI, meskipun memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman kita tentang dunia internasional, sering kali gagal menangkap kompleksitas multilayered dari politik internasional.
Baca Juga: Uganda Kena Sanksi AS karena Sahkan UU Anti-LGBTQ yang Melanggar HAM
Untuk mengatasi keterbatasan ini, pendekatan interseksional perlu dikembangkan sebagai kerangka kerja baru dalam HI yang dapat menangkap interaksi antara berbagai dimensi identitas dan dinamika kekuasaan global. Pendekatan ini tidak hanya relevan untuk analisis akademis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang signifikan untuk kebijakan internasional. Dengan mengadopsi perspektif interseksional, pembuat kebijakan dapat merancang kebijakan yang lebih inklusif dan adil, yang memperhitungkan kebutuhan dan pengalaman individu dan kelompok yang sering kali diabaikan dalam wacana dominan.
Baca Juga: Perjuangan Mary Jane Lepas Dari Hukuman Mati, Komnas HAM Beri Rekomendasi Grasi
Pada akhirnya, pengembangan HI yang interseksional bukan hanya tentang memperluas cakupan analisis kita, tetapi juga tentang menantang struktur kekuasaan yang mendasari sistem internasional. Dengan mengakui keragaman pengalaman manusia dan bagaimana pengalaman tersebut dibentuk oleh berbagai faktor yang saling bersinggungan, pendekatan ini dapat membantu menciptakan dunia yang lebih adil dan setara. Perspektif interseksional bukanlah sekadar tambahan dalam kajian HI, tetapi merupakan langkah penting menuju transformasi radikal dalam cara kita memahami dan mengatur hubungan internasional.
Satu hal yang sering dirasakan oleh para pegiat HI di Indonesia adalah pertanyaan klasik “HI-nya di mana?”. Ahmad Rizky Umar–scholar HI yang sekarang mengajar di Aberystwyth university, berargumen bahwa ini adalah salah satu manifestasi dari mengakarnya dominasi epistemik pengetahuan Barat dalam studi HI di indonesia, yang dipelihara, direproduksi, dinaturalisasi lewat praktik-praktik kuasa dalam institusi dan diskursus akademik setiap harinya.29 Bila kita hendak membawa prinsip-prinsip interseksionalitas ke dalam studi HI, maka decentering epitesmik Barat yang mengakar akan menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi. Ini senada dengan yang sudah dikemukakan para pemikir interseksional seperti Mohanty dan Collins yang menyoroti bagaimana akademia menjadi salah satu ruang utama—dan tujuan kritik—dalam kontestasi diskursus interseksional.
Baca Juga: Jalan-jalan Perempuan #1: Mengunjungi Masyarakat Adat, Memahami Sudut Pandang Mereka
Dalam konteks kontemporer yang paling dekat dengan kita Indonesia saat ini, Papua menjadi salah satu yang mendesak dan belum terselesaikan. Dari aspek HAM misalnya, banyak problematika HAM yang belum terselesaikan seperti pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM Berat masa lalu dan yang masih terjadi; kegagalan pemenuhan HAM dari pemerintah Indonesia ke OAP, terkhususnya dalam hak indigenous people (UNDRIP, misalnya). Ada juga persoalan tentang nasionalisme OAP, advokasi transnasional hak menentukan nasib sendiri; serta kegagalan pendekatan keamanan serta pendekatan pembangunan Indonesia di Papua yang melanggengkan kekerasan dan dominasi, yang juga berkaitan erat dengan perusakan lahan di Papua oleh ekspansi industri ekstraktif serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat sekitar, terkhususnya mama-mama Papua (kerangka ekofeminisme).30
Dari sini terlihat bahwa begitu banyak aspek lapisan dominasi kuasa yang perlu dikupas, tidak bisa terpisah satu sama lain, saling berkelindan erat, dan perlu dilandaskan pada pendekatan yang interseksional. Pertanyaannya dan tantangannya kemudian adalah bagaimana misalnya komunitas epistemik dapat berkontribusi, mengutip Mohanty, dalam mewujudkan politik yang berkeadilan, inklusif, dan memiliki visi untuk transformasi sosial serta strategi dalam mewujudkan visi tersebut? Saya berharap setidaknya kerja-kerja yang telah saya lakukan sampai saat ini setidak-tidaknya juga dapat menginspirasi generasi-generasi selanjutnya dalam berkontribusi lewat kerja-kerja yang berusaha mewujudkan dunia yang lebih adil dan membebaskan untuk kita semua.
(Foto: Fisip Universitas Indonesia)