Bermodus Pengantin Pesanan: Korban Dinikahi, Disuruh Kerja Tanpa Digaji

Berkedok pengantin pesanan, sebanyak 3 perempuan pekerja Indonesia di China, diduga menjadi korban trafficking atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mereka disuruh bekerja dan dinikahi tanpa mendapatkan gaji atau imbalan.

EA (25), merasa putus asa karena secara ekonomi, hidupnya tak juga berubah. Selama ini ia hidup sebagai single parent dengan anaknya yang masih balita.

Pekerjaannya sebagai penjaga stan minuman di Kalimantan Barat tak mencukupi kebutuhannya sebagai single parent.

Setelah berpisah dengan suaminya selama kurang lebih dua tahun, EA harus mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan anak perempuannya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu, dia pernah bekerja di salah satu Warung Kopi di Tayan. Dia juga pernah menjadi pekerja di perusahaan pengolahan kayu Akasia di Simpang Dua, tetapi upahnya tak seberapa.

Suatu hari, ia bertemu dengan seorang makcomblang (agen pencari tenaga kerja) yang menyatakan ingin membantu mengubah nasib EA. Makcomblang ini menawari EA untuk pergi ke China dengan menikah dengan seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Makcomblang dan agennya ini menjanjikan beberapa hal. Seperti, EA akan mendapatkan uang mahar perkawinan Rp20 juta, uang bulanan Rp2-3 juta per bulan yang bisa dikirimkan ke anaknya. Selain itu EA bisa pulang setiap 6 bulan sekali ke Indonesia untuk menengok anaknya.

Sebelumnya, EA juga melihat bahwa ada tetangganya yang melakukan hal ini dan berhasil. Maka pada September 2023, ia lalu ke Jakarta dan bertemu agen di sana.

“‘Kamu mau gak ikut aku di sana?’ Mereka bilang di sana hidupnya enak, setiap bulan bisa kirim uang dan mahar Rp20 juta. Karena kerja di sini uangnya sedikit, kemudian aku memilih, istilah kerjanya menikah dan dihidupi,” cerita EA pada Konde.co, 20 Januari 2025.

Baca Juga: Mary Jane ‘Pulang’ ke Filipina: Lindungi Perempuan Korban TPPO dan Stop Hukuman Mati

Setelah mengurus paspor dan semua perlengkapannya, kemudian pada bulan Januari 2024, EA pergi ke Jakarta di tempat agen tersebut. Ia baru berangkat ke China, Maret 2025.

Awalnya ia dijanjikan untuk pacaran dulu dengan laki-laki di sana, tetapi faktanya ia langsung menikah. Setelah menikah, EA hanya dikasih uang mahar sebesar Rp16 juta. Belakangan diketahui, seharusnya EA menerima uang mahar dan lainnya sebesar Rp160 juta.

“Sampai sekarang saya masih dipekerjakan sebagai petani oleh suami dan ibu mertua. Namun tidak mendapatkan uang bulanan dan sudah mau setahun ini tidak boleh pulang menengok anak. Saya juga terkena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dari mertua, saya dipukul, paspor juga ditahan suami,” kata EA.

EA sudah berusaha kabur dari rumah dan pergi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk dipulangkan ke Indonesia. Namun KBRI seolah tak mau menolong.

“KBRI malah menyalahkan kami, kami rencananya meminta bantuan untuk pulang tapi tidak bisa. KBRI katanya hanya bisa mengeluarkan Surat Perjalanan Laksana Paspor/ SPLP, tapi (waktu, red.) kami minta cap exit tidak dikasih, dan ujung-ujungnya balik lagi di sini (di rumah suami).”

Baca Juga: Penerapan UU TPPO Terkendala, Kasus Perdagangan Orang Terus Meningkat

Frustasi dengan kondisi ini, EA kemudian minta bantuan lewat medsos. Ia bertemu salah satu aktivis di Tiktok yang menyambungkannya dengan Persatuan Buruh Migran Indonesia (PBM), organisasi yang selama ini bekerja untuk menangani kasus buruh migran.

Selain EA, Persatuan Buruh Migran ternyata juga menerima pengaduan dari 2 orang perempuan korban perdagangan orang bermodus pengantin pesanan yang bekerja di China.

Korban lainnya adalah NP berusia 20 tahun dan SM berusia 33 tahun. Ketiganya berasal dari Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat. Pada saat direkrut makcomblang, NP baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan betisnya terluka. Makcomblang menjanjikan perawatan kaki yang canggih di China. Sedangkan SM memiliki tiga anak.

Secara waktu yang pertama kali diberangkatkan adalah SM pada Februari 2024, lalu EA pada Maret 2024, dan selanjutnya NP pada April 2024. Mereka semuanya menggunakan visa turis.

Anwar Ma’arif, aktivis Persatuan Buruh Migran/PBM yang dihubungi Konde.co pada 20 Januari 2025 menyatakan bahwa ketiganya adalah korban trafficking atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Baca Juga: “Kami Bekerja 20 Jam, Dicambuk dan Disetrum” Pengakuan Korban Kerja Paksa di Myanmar

“Ini sudah trafficking. Mereka adalah korban perdagangan orang karena secara definisi telah memenuhi unsur proses, cara dan tujuan atau eksploitasi dalam pidana perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO. Modus pengantin pesanan karena mereka sengaja direkrut untuk menikah dengan orang China yang memesan mereka dengan biaya yang mahal melalui agen dan jaringannya di kampung-kampung. Meskipun secara dokumen mereka resmi menikah, tetapi jika dilihat prosesnya mereka mau menikah dengan laki-laki China karena janji manis makcomblang yang tidak terbukti sama sekali. Informed consent mereka tumbuh dari informasi palsu yang ditanamkan makcomblang,” kata Anwar Ma’arif pada Konde.co.

“Pada situasi rentan tersebut, makcomblang mengiming-imingi mereka untuk berpacaran dengan dengan laki-laki kaya asal China. Sudah mapan, sudah punya rumah sendiri dan pekerjaan tetap, sehingga setiap bulannya akan memberi uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya di Indonesia. Makcomblang juga menjanjikan jika tidak cocok, dalam tempo enam bulan bisa pulang kembali ke Indonesia. Untuk lebih meyakinkan, makcomblang akan memberikan uang mahar sebesar Rp20 juta setelah pernikahan.”

Janji Palsu pada Korban

NP merasa dibohongi karena setelah sampai di China, dia langsung dinikahkan dengan lelaki yang diperkenalkan oleh makcomblang.

Calon suami menyuruh NP untuk menandatangani surat pernyataan (SP). Surat pernyataan tersebut katanya digunakan untuk persyaratan perawatan medis karena kakinya yang terluka. Faktanya surat tersebut digunakan untuk persyaratan menikah di sana.

“Setelah dokumen tersebut ditandatangani, tidak sampai seminggu NP langsung dibuatkan surat pencatatan pernikahan, lalu diadakan resepsi pernikahannya,” kata Anwar Ma’arif.

Uang mahar sebesar Rp20 juta yang dijanjikan akan diberikan setelah pernikahan juga pada praktiknya kurang dari itu. NP hanya menerima sebesar Rp17,4 juta, sedangkan EA hanya menerima Rp16 juta. Sementara SM belum sempat memberikan informasi berapa besar uang mahar yang diterimanya.

Baca Juga: Prostitusi di Indonesia Lebih Rumit dari ‘Sekadar’ Kebebasan Seksual Perempuan

Belakangan NP mengetahui biaya yang dikeluarkan mertuanya sebesar Rp700 juta. EA juga sempat mendapatkan informasi dari suaminya jika uang maharnya sebesar Rp160 juta. Sementara SM belum sempat memberikan informasi tersebut.

Ketiga korban mengaku tidak diberikan nafkah oleh suaminya karena suaminya pengangguran. EA dan SM menginformasikan jika setiap hari pekerjaan suaminya hanya main game atau main judi online dari handphone. Karena itu para korban tidak menerima uang nafkah yang dulu dijanjikan oleh makcomblang. Ujungnya para korban tidak dapat mengirimkan uang untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarganya di Indonesia.

Sempat Pergi dari Rumah

Pada pertengahan November 2024 lalu, selain EA, ada SM yang juga pernah kabur dari rumah suaminya. Tujuan mereka kabur agar bisa pulang ke Indonesia. 

Keduanya kabur tanpa membawa dokumen perjalanan, karena paspornya dipegang oleh suaminya. Keduanya juga sempat membuat Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) di KBRI. Sayangnya pada saat di Tempat Pemeriksaan Imigrasi Bandara Beijing, keduanya tidak diloloskan.

EA mengatakan selama di rumah dia harus ikut bekerja membantu mertuanya. Misalnya mencari dan membawa ramuan-ramuan dari kebun ke rumahnya atau harus bekerja pada saat panen sahang dan jagung. Namun bayaran dari pekerjaan-pekerjaan itu tidak diterimanya. Padahal EA berharap agar upah itu bisa untuk mengirim kebutuhan anaknya di Indonesia.

Setelah gagal pulang, para korban mengaku mengalami kekerasan fisik dan psikis. EA menyatakan pernah dipukul oleh mertuanya dengan menggunakan kursi bundar yang mengakibatkan pahanya membiru. Sayangnya dia tidak sempat memfoto bekas pukulan tersebut. Selain itu dia tidak boleh keluar rumah.

SM memberikan informasi jika setelah gagal pulang itu handphone bawaannya dari Indonesia dibanting oleh suaminya. SM pernah diomelin oleh mertuanya, dan kemudian tidak boleh keluar rumah.

Pelaku Merupakan Jaringan TPPO

Persatuan Buruh Migran menyimpulkan, pelaku merupakan jaringan, setiap individu mempunyai peran masing-masing. Mereka adalah makcomblang, petugas administrasi dan majikan.

Makcomblang akan berperan sebagai perekrut di kampung-kampung. Mereka ini punya keahlian untuk mengelabui para korban dengan iming-iming yang menggiurkan.

“Makcomblang ini biasanya orang lokal.”

Lalu ada petugas administrasi yang berperan mengurus dokumen. Misalnya, visa, surat keterangan single, mengakomodasi selama mengurus dokumen dan ticketing, kadang sampai mengantar ke negara tujuan (China). 

“Agen berperan mengatur perekrutan, pemindahan, penampungan, pendanaan, pemberangkatan, dan kerja sama dengan agen China yang merekrut calon pengantin pria. Tinggalnya bolak-balik Indonesia-China.”

Baca Juga: Merry Utami, Tutik dan Mary Jane, Para Perempuan Yang Menunggu Hukuman Mati

Persatuan Buruh Migran lalu menelusuri ini dan melaporkannya ke Mabes Polri. Namun mereka menyatakan kecewa karena Mabes Polri mengatakan baru akan menyelidiki kasus ini terlebih dahulu dan tak bisa mengeluarkan korban dan memulangkannya ke Indonesia. Artinya, ini butuh waktu lama, sedangkan korban harus cepat dikeluarkan dari sana.

“Pada 11 Desember 2024 kami melaporkan kepada Mabes Polri. Namun pada saat itu terkendala karena tidak membawa Surat Kuasa yang asli yang diminta oleh petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Akhirnya daripada tidak mendapatkan hasil, kami mengirimkan dokumen tersebut sebagai Pengaduan Masyarakat (Dumas) kepada Kapolri melalui Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Pidana Perdagangan Orang (Direktorat PPA-PPO). Lalu pada tanggal 24 Desember 2024, kami mendatangi kembali SPKT. Petugasnya menyarankan agar membuat Pengaduan Masyarakat (Dumas) lagi ditujukan kepada Satgas TPPO, karena jika ditujukan kepada Kapolri sampainya lama. Pada Selasa, 7 Januari 2025, mendatangi SPKT lagi untuk menyerahkan Dumas terbaru, lalu dipertemukan dengan Bapak Rifai dan Bayu dari Satgas TPPO,” kata Anwar Ma’arif.

Baca Juga: Pengantin Pesanan, Modus Trafficking Yang Mengorbankan Perempuan

Harapan PBM yaitu pertama, agar Satgas TPPO Bareskrim Mabes Polri menerbitkan Surat Laporan Polisi terkait dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang bermodus pengantin pesanan. Kedua, Satgas TPPO Bareskrim Mabes Polri dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) melakukan koordinasi untuk penanganan terbaik dalam melindungi para korban. Ketiga, pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Landak turut membantu kerja Satgas TPPO dan Kemlu.

Bagaimana pemerintah melihat kondisi para korban yang hidup dalam kondisi tertekan dan tak bisa bertemu anak dan keluarganya di Indonesia seperti ini? Konde.co menghubungi Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) di Kemlu, Yudha Nugraha pada Senin, 20 Januari 2025 untuk mengonfirmasi hal ini. Namun sampai berita ini diturunkan, Konde.co tidak bisa melakukan wawancara untuk konfirmasi.

Anwar Ma’arif menyatakan pihaknya juga sudah mengadukan hal ini ke pemerintah. Mereka ingin korban agar cepat pulang ke Indonesia dan tidak dalam kondisi tertekan. Banyak perempuan yang menjadi korban seperti ini, dijanjikan menikah dan dihidupi, tetapi malah dipekerjakan, tidak digaji dan ditahan paspornya yang membuat mereka tak bisa berbuat sesuatu.

Para perempuan ini rata-rata mempunyai persoalan ekonomi, ingin mengubah nasib keluarga namun tak bisa, lalu dijebak dalam modus pengantin pesanan.

Editor: Anita Dhewy

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!