Sebagai perempuan muslim yang hidup di Indonesia dengan budaya patriarki yang masih kental, saya melihat tubuh perempuan jadi isu yang tak henti diperbincangkan. Sayangnya perbincangan tersebut sering kali tidak melibatkan perempuan sebagai si pemilik tubuh. Bahkan banyak pihak merasa seolah-olah menjadi yang paling berhak untuk mengatur dan mengambil keputusan terhadapnya.
Fenomena yang kerap muncul adalah terkait dengan pemakaian jilbab. Seperti yang terjadi awal 2020 lalu di Sragen, Jawa Tengah. Media sosial ramai dengan pembahasan soal teror yang dialami seorang siswi (Z) karena tidak memakai jilbab.
Z adalah siswi kelas X di SMA Negeri 1 Gemolong, Sragen, Jawa Tengah. Ia diteror oleh temannya yang juga menjadi pengurus ekstrakulikuler Rohani Islam (Rohis) melalui Whatsapp. Alasan Z diteror bisa dibilang cukup konyol, yakni lantaran Z tidak menggunakan jilbab. Diantara sekian ratus siswi di SMA Negeri 1 Gemolong Sragen yang beragama Islam memang hanya Z yang tidak menggunakan jilbab.
Ayah Z yang mengetahui mengenai teror tersebut berusaha menghubungi pelaku dan mengajak pelaku bertemu tetapi pelaku malah menolak ajakan tersebut. Ia berdalih buat apa ketemu orang tua yang tidak paham dalil agama? Akhirnya orang tua Z membawa kasus ini ke sekolah. Namun patut disayangkan bahwa pihak sekolah kurang kooperatif dan kurang menindak tegas pelaku.
Kepala sekolah hanya menyatakan hal yang dilakukan pelaku masih dalam batas wajar dan pelaku melakukan itu karena masih remaja. Karena itu pelaku belum tahu cara berdakwah dengan baik.
Akibat teror tersebut Z mengalami trauma. Pasalnya Z tidak hanya mengalami perundungan dari salah satu pengurus Rohis saja tetapi ia juga disudutkan oleh guru yang malah memaksanya untuk berjilbab.
Kejadian yang dialami Z bukanlah yang pertama dan sayangnya bukan yang terakhir. Kejadian serupa kembali terjadi pada 2022. Kali ini kembali terjadi di sebuah SMA Negeri di Sragen dan di SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Baca juga: Guru dan Aktivis Kecam Tindakan Cukur Rambut Karena Tak Pakai Ciput Jilbab
Di SMAN di Sragen seorang siswi (S) diduga mendapatkan perundungan dari guru matematikanya karena tidak memakai jilbab. S dimarahi di depan kelas hingga membuatnya enggan berangkat ke sekolah.
Sementara di Yogyakarta, seorang siswi kelas X mengalami depresi berat karena dipaksa memakai jilbab ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pertengahan Juli 2022. Saat itu seorang guru bimbingan konseling, wali kelas, dan guru agama memakaikan jilbab kepadanya secara paksa di ruangan guru BK.
Kasus-kasus di atas hanya sebagian saja, masih banyak kasus-kasus serupa yang terjadi di sekitar kita. Pemaksaan untuk menggunakan atribut keagamaan di sekolah-sekolah negeri dengan embel-embel peraturan sekolah dan dalil agama kerap dianggap hal yang lumrah.
Beberapa sekolah negeri bahkan memberlakukan aturan wajib berhijab bagi siswi yang beragama Islam. Sekolah negeri tidak bisa lagi berperan sebagai institusi pendidikan yang netral dan tidak terikat pada agama tertentu.
Pemaksaan mengenakan jilbab tidak hanya berlaku di sekolah tetapi juga di lingkungan masyarakat. Label dan stereotipe terhadap perempuan yang tidak berjilbab juga merupakan sebuah bentuk tekanan. Belum lagi hampir setiap hari kita disodori berbagai macam dakwah tentang kewajiban berjilbab lengkap dengan berbagai azabnya.
Berjilbab tidak lagi merupakan identitas muslimah yang merdeka, sebaliknya dengan tuntutan dan tekanan yang ada, ia menjadi bentuk pemaksaan.
Padahal, di usia remaja sudah seharusnya perempuan diajarkan tentang otoritas tubuhnya sendiri. Tubuhnya adalah miliknya. Dialah yang berkuasa atas tubuhnya, bukan orang lain. Pemaksaan berjilbab sepatutnya tidak lagi dilakukan karena sudah seharusnya setiap perempuan diajarkan merdeka atas diri mereka sendiri. Termasuk menentukan pakaian yang hendak mereka kenakan dan pilihan mereka untuk menjalankan agamanya.
Pemahaman mengenai otoritas tubuh dan kemerdekaan berpikir inilah yang belum diterapkan di lingkungan masyarakat Indonesia yang masih patriarkis. Lingkungan yang masih kental dengan patriarki menciptakan nilai-nilai yang tidak menguntungkan bagi perempuan.
Baca juga: Kisah Pemaksaan Jilbab Terjadi di Banyak Tempat, Perempuan Selalu Jadi Korbannya
Perempuan dituntut sedemikian rupa untuk berpakaian dan bersikap. Hal ini tercermin dari kasus Z, S dan siswi di Bantul diatas lewat sikap sekolah (guru dan/atau murid) yang tidak kooperatif dan cenderung malah menyudutkan siswinya yang tidak berjilbab.
Sulit memang menjadi perempuan di Indonesia. Ketika kamu belum berjilbab, kamu akan dirundung dengan bungkus “dakwah”. Tetapi ketika kamu sudah berjilbab kamu akan dibebani dengan stereotipe perempuan baik-baik yang bisa berujung pada pengekangan kebebasan berekspresi.
Pernah dengar kan kalimat, “Pakai jilbab kok ketawanya kenceng-kenceng!” Atau dalam kasus pribadi saya, “Mbok ya kamu tuh udah pake jillbab, kok keluar sama cowok terus?” Padahal memang saya punyanya kakak laki-laki (mas) bukan kakak perempuan (mbak).
Perihal jilbab, tidak bisa dipungkiri masih ada pendapat yang berbeda-beda mengenai aturannya. Ada yang mengatakan wajib, ada yang mengatakan tidak. Semua memiliki argumentasi dan landasan dalil masing-masing. Sudah sepatutnya hal tersebut dihormati dengan sebaik-baiknya.
Apalagi bagi beberapa perempuan, jilbab merupakan hal yang pribadi dan prinsipil. Alasan Z untuk tidak memakai jilbab patut didengarkan. Z belum menggunakan jilbab karena dia merasa belum siap. Begitu juga dengan S, siswi di Bantul atau perempuan-perempuan lainnya.
Kesiapan seseorang untuk menggunakan atau tidak menggunakan jilbab selama sisa hidupnya adalah hal yang tidak bisa disamaratakan. Setiap orang mempunyai jalannya sendiri dan mempunyai pemahamannya masing-masing. Oleh karena itu alasan Z untuk tidak menggunakan jilbab patut didengarkan dan dihormati. Karena pada akhirnya Z sendirilah yang akan menjalani hidupnya, bukan orang lain.
Fakta yang juga perlu diperhatikan adalah pemaksaan jilbab bisa menyebabkan dampak yang serius bagi korban. Kita bisa lihat dari contoh-contoh yang dibahas sebelumnya. Mulai dari stres, depresi hingga trauma. Upaya pemulihannya jelas membutuhkan waktu, biaya, tenaga, dll, yang harus ditanggung oleh korban dan keluarganya.
Karena itu sudah seharusnya praktik-praktik pemaksaan yang sistematis dengan memakai perangkat aturan dan menggunakan kekuasaan segera dihentikan.
Editor: Anita Dhewy