Apa rasanya ketika masa depan cerah menanti dan kita merasa siap untuk menyongsongnya—hanya untuk dibanting mentah-mentah oleh kenyataan yang doyan muncul tanpa permisi? Itulah yang dialami Hendarmoko (Chicco Kurniawan) dalam film ‘1 Kakak 7 Ponakan’ garapan sutradara Yandy Laurens.
Film ‘1 Kakak 7 Ponakan’ diadaptasi dari sinetron tahun 1996 bernama sama, karya Arswendo Atmowiloto. ‘1 Kakak 7 Ponakan’ dimulai dengan kisah Moko sebagai mahasiswa Arsitektur yang sedang mempersiapkan diri untuk sidang tugas akhir. Tepat setelah presentasinya selesai, sang pacar, Maurin (Amanda Rawles), panik memberitahunya bahwa kakak Moko, Atmo, terkena serangan jantung. Moko terbirit-birit menuju rumah sakit hanya untuk mendapati Atmo meninggal. Di momen itu pula, Agnes, kakak ipar Moko tiba-tiba melahirkan dan turut berpulang, meninggalkan seorang bayi yang baru saja dilahirkannya serta tiga anak lainnya yang masih anak-anak.
Moko pun menutup masa mahasiswanya sebagai ‘orang tua’ dari keempat keponakannya. Ialah ‘bapak’ sekaligus ‘ibu’ bagi Nina, Woko, Ano, dan Ima.
Masa depannya dijungkirbalikkan begitu saja pada saat itu. Mulanya, Moko dan Maurin berencana melanjutkan kuliah di luar negeri dan membuka biro arsitek bersama. Namun sejak kepergian Atmo dan Agnes, Moko harus mengubur semua mimpi itu. Ia menetap di rumah mendiang Atmo dan pontang-panting mencari pekerjaan agar dapat terus menghidupi empat keponakan. Moko sempat meminta kakak perempuannya, Osa, untuk pulang dan membantunya mengasuh anak-anak Atmo dan Agnes. Namun Osa, yang sedang menetap di Australia, mengaku masih belum bisa kembali karena kesibukan suaminya di sana.
Sementara itu, Maurin mengejar impian mereka sendirian. Terpisah jarak dan nasib, Moko merasa tak bisa lagi melihat masa depan bersama Maurin, sehingga ia memutuskan hubungan mereka. Alih-alih buku tentang arsitektur, kini yang menghiasi lemarinya adalah perlengkapan bayi dan buku-buku tentang pengasuhan anak.
Baca Juga: ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’, Realita Care Work dan Ketidakadilan Gender di Baliknya
Moko kesulitan bukan hanya secara finansial—sebab ia hanya dapat mengambil pekerjaan freelance di tengah huru-hara mengasuh bayi. Selain itu, ia juga harus belajar mengasuh Ima, si bungsu yang lahir tanpa sempat merasakan sentuhan pertama sang ibu. Moko sering bangun tengah malam, terjaga seharian penuh, dan melakukan apa saja untuk mengasuh Ima yang masih bayi dan baru mengenal dunia. Keadaan semakin rumit ketika gurunya tiba-tiba datang untuk menitipkan anak perempuannya, Ais. Dalihnya, laki-laki itu menitipkan Ais pada Moko selama seminggu saja. Namun hingga dua tahun berselang, ia tak kunjung menjemput anaknya. Sang bapak kabur meninggalkan anak perempuannya begitu saja.
Jadilah Moko menghabiskan bertahun-tahun menjadi sosok multiperan bagi Nina, Woko, Ano, Ais, dan Ima. Dia adalah kakak, bapak, dan ibu dalam satu waktu bagi kelima anak itu. Seiring berjalannya waktu, Moko juga belajar menghadapi perubahan emosi para keponakannya yang beralih dari usia anak ke remaja. Moko sendiri akhirnya diterima sebagai junior arsitek di biro tempat Maurin bekerja. Penghasilannya kini cukup untuk membiayai kehidupan lima keponakannya.
Baca Juga: Edisi Care Work: Perbudakan Yang Berkedok Kekeluargaan
Ketika Osa dan suaminya, Eka, akhirnya pulang ke Indonesia setelah lama menetap di Australia, Moko pikir hidup mereka akan membaik. Namun Eka malah kerap merecoki Moko dan para keponakannya dengan berbagai petuah yang ‘menggurui’ dan menyakiti hati Moko serta keempat keponakannya. Saat Moko harus pindah bekerja di Anyer untuk sebuah proyek resort pun, Eka berkali-kali meneleponnya untuk meminta kiriman uang tambahan. Maurin sampai menegur Moko karena terlalu ‘memanjakan’ Eka, serta menyebut Osa dan Eka sebagai dua ‘keponakan’ tambahan Moko karena pemuda itu terus menerus menuruti kemauan mereka. Bukannya membiayai hidup keluarganya, Moko malah makin pusing dibuat menafkahi gaya hidup Osa dan Eka.
Setelah diselidiki, ternyata Eka menggunakan uang dari Moko untuk investasi bodong. Di sisi lain, justru Nina, Woko, dan Ano disuruh bekerja oleh Eka selama Moko pergi. Lalu Ais dikembalikan pada keluarga sepupu ayahnya yang tak sengaja mereka temui di Anyer. Semua itu terungkap setelah Moko menemui Ais di rumah bibinya. Sebab ia sama sekali tak bisa menghubungi para keponakannya yang lain.
Baca Juga: ‘Harus Berhenti Kerja, Urus Orang Tua’ Kerja Perawatan Masih Dipikul Perempuan
Perasaan bersalah Moko makin menjadi-jadi. Ia menyesal telah meninggalkan keluarganya untuk karier barunya. Moko pun menjemput Ano yang bekerja sebagai kuli bangunan, Woko sebagai tukang photocopy, dan Nina sebagai pramusaji, dari pekerjaan mereka masing-masing, dan meminta ketiganya untuk berhenti bekerja. Di tengah semua itu, dengan alasan ‘kerja di luar kota’, Eka kabur membawa semua uang Moko yang selama ini dikirimkannya untuk kebutuhan para keponakan. Osa, yang sempat membela suaminya, akhirnya meminta maaf kepada Moko.
Meski sempat diterjang badai, kondisi mereka berangsur-angsur membaik. Moko pun teringat momen ketika ia menjalani sidang akhirnya di kuliah. Proyek tugas akhir Moko adalah rancangan rumah besar yang nyaman bagi keluarga. Sebab ia teringat kehangatan yang dirasakannya di rumah kecil sang kakak saat dirinya menumpang tinggal di sana selama kuliah. Juga segala hal yang dilakukan kakak dan kakak iparnya di rumah itu untuk ketiga anak mereka dan Moko sendiri. Moko ingin terus menghidupkan kasih sayang di rumah itu.
Tentang Kerja Perawatan
‘1 Kakak 7 Ponakan’ menunjukkan besarnya perjuangan demi kerja perawatan. Moko merelakan mimpi sebagai arsitek muda untuk mengasuh keponakannya. Di sisi lain, para keponakan pun berkorban. Woko mengurungkan niatnya untuk kuliah di jurusan Hukum dan memilih untuk menjadi driver ojek online untuk membantu perekonomian keluarga. Nina lebih banyak diam dan bekerja menjadi pramusaji karena merasa telah merepotkan Moko selama ini. Ano sempat sakit radang usus dan membuat Moko batal membeli laptop baru karena harus membiayai pengobatannya, maka Ano memilih untuk menyimpan rasa sakitnya agar tidak menyusahkan Moko lagi. Ais akhirnya pulang ke rumah sang bibi demi kehidupan yang lebih baik bagi keluarga Moko.
Kehadiran Osa dan Eka di tengah keluarga Moko tidak membuat situasi lebih baik. Eka kerap mencibir Moko dengan sarkasme. Ia merasa, Moko menyia-nyiakan masa mudanya yang gemilang untuk ‘sekadar’ mengasuh keponakannya. Eka juga menyebut para keponakan Moko sebagai ‘beban’ dan ‘menyusahkan’. Sementara itu, lelaki tersebut juga adalah contoh praktik patriarki di dalam rumah tangga. Eka kerap menyuruh-nyuruh Osa dan Moko melakukan berbagai hal untuknya, seperti memasak atau menuangkan air. Ia juga sangat dominan dalam mengambil keputusan sepihak. Eka tak pernah memberikan kesempatan pada Osa untuk berbicara atas dirinya sendiri sebagai perempuan. Akhirnya, Osa menjadi istri yang hanya bisa mengiyakan kemauan suaminya, bahkan ketika lelaki itu kabur karena investasi bodong.
Yang terpenting, hal-hal yang dilakukan Moko selama dua tahun sejak Atmo wafat adalah kerja perawatan. Ia mengasuh empat anak dan, khususnya, seorang bayi. Moko menyiapkan susu formula untuk Ima, menimangnya sampai tidur, menghadapi tantrum sang bayi, membawanya ke dokter, dan bangun tengah malam untuk menenangkan Ima yang menangis. Ia juga yang membereskan rumah, memasak, dan lain-lain, bergotong royong dengan Nina, Woko, Ano, dan Ais. Di sisi lain, Moko pula yang harus mencari nafkah dan bekerja sana-sini untuk menghidupi keluarganya.
Baca Juga: Care Work Pada Komunitas Tak Dianggap Kerja, Padahal Ini Kerja Tambahan Perempuan
Bahkan, ketika Moko membuat proyek bangunan resort dalam kerjanya sebagai arsitek pun, ia sangat fokus pada detail kebutuhan bagi keluarga dan ibu dengan anak. Rancangan interiornya tidak mengikuti arahan awal karena ia ingin family resort di Anyer itu berfungsi sesuai namanya: resor keluarga. Moko menawarkan gagasan interior ramah perempuan dan anak. Seperti kursi tanpa dudukan tangan untuk memudahkan perempuan yang membawa gendongan bayi, ruang laktasi, ruang untuk laki-laki yang membawa anak agar tidak bercampur dan mengganggu ruang aman perempuan dengan anak, dan sebagainya. Idenya ditolak mentah-mentah oleh klien, tapi setidaknya Moko punya visi yang jelas dalam karier arsitekturnya.
Moko melakukan hal yang selama ini dibebankan lebih banyak kepada perempuan. Kerja-kerja perawatan sering kali dipandang sebelah mata, diremehkan, tidak diupah dengan layak, hingga dianggap sebagai ‘pekerjaan perempuan’ saja. Padahal, perempuan menanggung multibeban karena peran dalam kerja perawatan di ranah domestik sekaligus kerja di ruang publik untuk penghidupan keluarga. Film ‘1 Kakak 7 Ponakan’ menunjukkan contoh pandangan sebelah mata terhadap kerja perawatan lewat komentar-komentar sinis Eka terhadap Moko. Sinisme serupa atau bahkan lebih parah yang sering dihadapi perempuan saat melakukan kerja perawatan. Dibilang tidak becus mengurus anak, tapi dituntut keluar rumah dan menafkahi keluarga. Disebut melewatkan masa depan yang lebih cerah, tapi diminta untuk tetap mengurus rumah. Patriarki membuat masyarakat menganggap pengasuhan dan perawatan bukan ‘kerja’, tapi menuntut untuk diasuh dan dirawat terutama oleh perempuan.
Kisah Moko menyadarkan bahwa kerja perawatan adalah kerja juga—dan, seharusnya, bukan dilakukan berdasarkan gender. Kerja perawatan adalah kerja bersama. Ia tak kurang bernilai dibanding kerja-kerja di ranah publik. Kerja perawatan harus lebih diapresiasi dan dihargai.
(sumber foto: Instagram @1kakak7ponakan)