Hal pertama yang kulakukan setelah menonton film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ adalah menelepon nenekku. Serta merenung di dalam bus yang kutumpangi saat pulang dan memikirkan care work yang selama ini dilakukan olehku, Nenek, Ibu, dan keluargaku.
‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ adalah film Thailand dengan judul asli ‘Lahn Mah’. Film ini diperankan oleh dua aktor dan aktris muda ternama, Billkin Putthipong Assaratanakul dan Tontawan Tantivejakul. Selain itu, peran Usha Seamkhum sebagai Amah atau Nenek dalam film ini juga mendapat banyak apresiasi.
Banyak orang yang sudah menonton ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ paling tidak berpendapat sama: film ini betul-betul menguras air mata penonton yang memiliki kedekatan emosional dengan nenek dan kakek, kalau bukan dengan orang tua mereka sendiri. Hal ini bisa diantisipasi sejak cuplikan trailer-nya dirilis.
Aku tahu akan keluar dari bioskop dengan mata sembab total dan kerinduan yang membuncah pada Nenek. Tapi yang tidak aku antisipasi sebelumnya adalah tamparan realita bahwa diskriminasi terhadap perempuan dalam kerja-kerja perawatan adalah pengalaman universal.
Film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’
‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ menceritakan tentang pemuda bernama M (Billkin Putthipong). Ia meninggalkan bangku SMA demi menjadi game caster. M berharap bisa mendapatkan banyak uang dari aktivitasnya di bidang game tersebut, tapi hal itu tidak semudah kelihatannya.
Di sisi lain, M juga hanya tinggal berdua dengan sang ibu, Chew. Belakangan Chew kerepotan mengurus ibunya sendiri, Amah alias nenek M (Usha Seamkhum) yang baru didiagnosis kanker. Pasalnya, kedua saudara laki-laki Chew enggan merawat ibu mereka. M pun berinisiatif mengurus Amah—tapi bukan semata-mata karena melihat kesulitan Chew.
Alasan M terutama karena ia melihat sepupunya, Mui (Tontawan Tantivejakul) diwarisi rumah mewah oleh mendiang Agong atau kakeknya. Mui menjadi cucu kesayangan Agong karena ia tekun mengurus sang kakek saat anak-anak Agong mengabaikannya. Ingin kaya raya seperti Mui, M pun bertekad untuk menjadi cucu kesayangan agar ia mendapatkan harta warisan Amah.
Namun, Amah adalah sosok perempuan tangguh. Sejak ketiga anaknya dewasa dan berkeluarga, Amah tinggal di rumahnya yang sederhana, seorang diri. Sebagai orang tua tunggal, sudah sejak lama Amah berjualan congee setiap pagi untuk menghidupi anak-anaknya dan dirinya sendiri ketika mereka mulai berpencar.
M juga sebelumnya dikenal sebagai cucu yang cuek. Ketika M tiba-tiba muncul di rumah Amah, perempuan tua itu langsung curiga. Memang pada saat itu, M sendiri awalnya datang demi memotret rumah Amah dan mengunggahnya di forum jual-beli di internet. Bukan hanya pemuda itu yang mengincar harta warisan Amah. Kedua pamannya, Kiang dan Soei, juga mendadak lebih peduli dan rajin mengunjungi sang ibu demi menjadi anak kesayangan yang terpilih untuk mendapatkan warisan.
Baca Juga: Care Work Pada Komunitas Tak Dianggap Kerja, Padahal Ini Kerja Tambahan Perempuan
Di sisi lain, Amah belum mengetahui kalau dirinya mengidap kanker. Chew dan para paman M menyembunyikan hasil diagnosa penyakit ibu mereka dengan dalih menjaga perasaannya. Namun M merasa Amah justru harus tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Maka ia pun akhirnya menyampaikan kabar tersebut kepada Amah saat memutuskan untuk tinggal bersamanya. Tentu kabar tersebut tidak membuat neneknya merasa lebih baik; tapi paling tidak, hati Amah agak luluh karena M jujur kepadanya. Amah pun akhirnya mengizinkan M untuk tinggal dan menemaninya.
Tujuan M mengurus Amah pun mulai beralih. Ia tetap butuh uang, tapi M juga menyaksikan ketegangan antara ibunya, Chew—yang berusaha keras menjadi anak berbakti—dan Amah yang tidak mau membebani Chew lebih jauh lagi. Amah merasa hidup anak perempuannya yang akhirnya juga menjadi orang tua tunggal, selama ini sudah sangat sulit akibat dirinya. Agar ibunya bisa fokus bekerja dan tetap ada yang mengurus Amah, M pun menawarkan diri untuk pindah dan tinggal di rumah Amah.
Hubungan M dan Amah sejak tinggal bersama awalnya tidak terlalu baik. Dengan jarak generasi yang jauh dan sikap yang sama-sama keras, M dan Amah sering berdebat akan hal-hal terkecil. Misalnya, soal jadwal Amah berjualan yang terlalu pagi untuk M. Atau saat pemuda itu membelikan Amah sup daging sapi padahal sang nenek bilang dirinya tak mengonsumsi daging sapi. M juga kerap memprotes kehidupan sehari-hari Amah yang terlalu konservatif. Sedangkan Amah sering memarahi M yang bertindak sembarangan.
Baca Juga: Film ‘The Idea of You’: Sulitnya Hapus Stigma Perempuan Tak Boleh Punya Pacar Lebih Muda
Seiring berjalannya waktu, M dan Amah mulai menemukan kecocokan antara satu sama lain. Sebagai cucu pertama, M pernah merasakan diasuh oleh Amah saat masih kecil; kini ia kembali mengalami hal itu. Pada waktu bersamaan, kali ini juga giliran M untuk merawat dan ‘mengasuh’ neneknya yang sudah renta. Lewat tingkah laku yang kadang menyebalkan, M berusaha menghibur dan menguatkan Amah selama menjalani proses kemoterapi.
Selama mendampingi neneknya, M juga melihat cara-cara Amah ‘berdamai’ dengan penyakitnya. Bahkan usai didiagnosis kanker, Amah masih rajin bangun pagi untuk berjualan, lalu berjalan ke bank untuk menyetor uang tabungan. Ia sering mampir ke toko milik sahabatnya, yang juga mengidap kanker. Sebagai sesama lansia dengan kanker, Amah dan kawannya menjadi support system bagi satu sama lain.
Baca Juga: ‘Harus Berhenti Kerja, Urus Orang Tua’ Kerja Perawatan Masih Dipikul Perempuan
Namun masalah datang silih berganti, seakan penyakit Amah tidak cukup. Uang simpanan Amah dibawa kabur Soei, yang terlilit hutang akibat kecanduan berjudi. Padahal uang itu adalah hasil berpuluh-puluh tahun Amah menyisihkan pendapatannya yang tidak seberapa untuk membeli lahan pemakaman untuk dirinya. Lalu, ketika M dan Amah mendatangi kakak laki-laki Amah yang kaya raya untuk meminjam uang, mereka justru diusir dan dimaki-maki. Padahal, harta sang kakak juga merupakan warisan dari orang tua mereka—sebab dalam keluarga, anak laki-lakilah yang diwarisi kekayaan, dan anak perempuan seakan tak ada harganya.
Meski sempat merasa lebih baik sejak M menemaninya, Amah tetap kesepian. Dia akhirnya mengetahui alasan si cucu merawatnya ketika suatu hari seseorang mendatanginya dan memberitahunya bahwa M memasang iklan untuk menjual rumah Amah di internet. Ditambah lagi, kondisi Amah justru memburuk usai bolak-balik melalui kemoterapi. Anak-anaknya malah sibuk cekcok soal surat wasiat. Begitu mengetahui bahwa Amah mewariskan rumahnya kepada Soei meski lelaki itu kerap berbuat buruk, Kiang marah dan mencampakkan sang ibu.
M juga sakit hati, sebab ialah yang pertama kali memergoki Soei mencuri uang Amah untuk berjudi dan meminta sang paman untuk menjauhi neneknya. Malah, M dan Chew sudah melakukan segalanya demi Amah, tapi sang nenek lebih peduli pada paman yang tidak berguna. M pun meninggalkan Amah dan kembali tinggal di rumah ibunya.
Baca Juga: Edisi Care Work: Pemda Tak Punya Kebijakan untuk PRT, Butuh UU PPRT
Setelah mendapatkan surat wasiat, Soei langsung menjual rumah Amah, sementara sang ibu dipindahkannya ke panti jompo. Padahal, dengan kondisi yang sudah sangat lemah gara-gara kanker, Amah hanya ingin masa tua yang hangat bersama orang-orang terkasih. Mengetahui hal itu, M lantas berkunjung ke panti jompo untuk menemui neneknya.
Kemarahan M tidak lebih besar dari rasa sayangnya kepada Amah. Ia pun akhirnya membawa Amah meninggalkan panti jompo dan tinggal bersama dirinya dan Chew. Kiang juga meredakan kemarahannya terhadap Amah dan memutuskan untuk mengunjungi sang ibu lagi di rumah Chew saat kumpul keluarga.
Amah pun mengembuskan napas terakhir didampingi M pada suatu malam di kediaman mereka. Sempat kebingungan memikirkan dana pemakaman bagi Amah, M baru mengetahui bahwa ternyata neneknya selama ini menyisihkan tabungan dalam jumlah besar di bank untuk M, cucu pertama yang diasuhnya sejak kecil. Kesedihan M jadi berlipat ganda; ia teringat masa-masa ketika neneknya mengantar-jemput dirinya dari sekolah. Akhirnya M menggunakan tabungan Amah untuk upacara pemakaman dan membelikan lahan pemakaman yang layak untuk nenek tercintanya.
Pengalaman Universal
Saat menonton kisah M dan Amah di film ini, sejujurnya aku juga teringat dengan kisah seorang content creator media sosial, Chris Punsalan. Ia adalah seorang pemuda asal Filipina yang tinggal di Amerika Serikat dan mengunggah konten dirinya mengurus sang nenek yang sudah berusia 97 tahun. Neneknya adalah sosok yang penyayang dan jenaka; mereka kerap bercengkerama di video-video yang diunggah Chris. Selain itu, ia juga sering berbagi tips merawat lansia sebagai caregiver. Sayang, sang nenek telah tutup usia pada Januari 2024 lalu.
Di samping itu, menonton film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ juga membuatku merasa menonton film tentang kehidupan keluargaku sendiri. Bedanya, nenekku masih hidup—dan semoga dalam waktu yang lama. Banyak bagian dari film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ yang menyakitkan sekaligus memberikan kehangatan bagiku—sebab segalanya terasa begitu dekat.
Nenekku menjadi bagian dari keluarga kami sejak orangtuaku menikah. Jadi, selama 27 tahun hidup, aku tinggal dengan Nenek. Ia pula yang mengasuh dan membesarkanku, karena kedua orang tua sibuk bekerja dan mengurus adik-adik yang lahir 4-5 tahun setelahku. Sama seperti Amah, Nenek berpisah dari suaminya dan membesarkan ibuku, anak satu-satunya, seorang diri. Seperti pula Chew yang mencari nafkah sejak muda demi membantu Amah; ibuku selalu bekerja tanpa henti sebagai tulang punggung keluarga dengan tiga anak, ibu lansia, dan suami pengangguran.
Baca Juga: Edisi Care Work: Seperti Apa Dunia Kerja Pramurukti
Bagiku, apa yang dilalui M, Amah, dan Chew sebetulnya adalah pengalaman universal. Hal yang dilakukan Amah dan Chew, juga dialami oleh nenek dan ibuku. Care work yang M lakukan, juga kulakukan bersama adik-adikku saat nenek kami sudah tidak cukup bugar untuk beraktivitas seperti dulu.
Banyak adegan yang terasa familier. Seperti ketika M memasang CCTV untuk mengawasi aktivitas Amah di rumah; adikku memasang CCTV di rumah kami karena pernah, beberapa kali, Nenek terjatuh dan kami terlambat menyadarinya. Atau saat M mengingat masa kecilnya bersama Amah sepulang sekolah—aku teringat saat Nenek menjemputku pulang sekolah, setiap hari, ketika teman-temanku diantar-jemput oleh orang tua mereka. Juga ketika M mengunjungi Amah lagi di panti jompo setelah melampiaskan kemarahannya karena Amah mewariskan hartanya kepada Paman Soei; yang pertama Amah tanyakan kepada M adalah, “Kau sudah makan?” Persis seperti nenekku, bahkan ketika aku hanya pulang ke rumah beberapa bulan sekali sejak merantau. Begitu mirip hingga aku tak bisa membendung air mataku saat adegan itu tayang.
Sama seperti M, aku kadang menghampiri nenekku saat tertidur di kamarnya pada malam hari, hanya memandanginya—memastikan ia masih bernapas. Sebab aku belum siap kehilangan Nenek.
Segera setelah film usai, aku menelepon nenekku di rumah lewat video call, di pinggir jalan sembari menunggu bus. Begitu tersambung, Nenek langsung bertanya, “Lagi di mana? Sudah makan?” Masih sama seperti Amah dalam film tersebut, sama seperti nenekku yang biasanya. Nenek yang selama ini merawat anak dan cucu-cucunya; nenek yang sekarang dirawat olehku dan keluargaku. Film ini menyadarkanku bahwa kerja perawatan yang selama ini kami lakukan adalah pengalaman bersama.
Realita Care Work: Kerja Multi-Beban Minim Apresiasi
Film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ lebih dari sekadar film tentang hubungan cucu dan nenek. Dalam film ini, muncul berbagai realita care work atau kerja-kerja perawatan yang selama ini dianggap sepele.
Care work dalam film Thailand ini bahkan bukan dimulai sejak M mengurus Amah sebagai lansia. Kerja perawatan itu sesungguhnya hadir ketika Amah harus menghidupi dan membesarkan tiga anaknya seorang diri. Juga saat Chew, anak perempuan Amah, menjadi tulang punggung keluarga kecilnya yang hanya terdiri dari dirinya dan sang anak, M—sekaligus mengurus ibunya yang sakit. Lalu ada Mui, yang mendedikasikan masa mudanya untuk merawat Akong hingga tutup usia.
Nyatanya, kerja-kerja perawatan sering dianggap remeh, khususnya ketika dilakukan oleh perempuan. Antropolog Sosial Perkotaan di Universitas Manchester bernama Caroline Moser menyebut, banyak perempuan memiliki beban lain di luar rumahnya. Yaitu peran dalam merawat komunitas di masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Dalam Gender Analysis Framework di tahun 1980-an, dia menulis tentang tiga peran perempuan. Yaitu reproduksi, produksi, dan merawat komunitas. Ini karena perempuan dianggap memiliki pribadi keibuan, mengasihi, dan memiliki tanggung jawab yang terlihat ‘lebih superior’ dibanding laki-laki.
Film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ menampilkan multi-beban peran perempuan tersebut dalam lingkungan sosial. Amah bukan hanya ibu dari dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Ia juga harus melakukan kerja di luar rumah untuk bertahan hidup, yakni berjualan congee dengan hasil seadanya. Chew bukan hanya menjadi ibu dari M; sejak kecil, ia membantu Amah mencari uang dan bekerja sampai anaknya tumbuh besar. Setelah Amah divonis kanker, Chew sampai mengambil kerja shift malam agar bisa tetap menafkahi keluarga kecilnya dan merawat sang ibu.
Baca Juga: Film ‘Civil War’, Kisah Jurnalis Perempuan Lawan Ketakutan dan Trauma Perang
Sosok laki-laki dalam ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’, selain M, juga hilang dari care work tersebut. Amah dan Chew adalah dua ibu tunggal yang membesarkan keluarga mereka tanpa sosok laki-laki. Sementara itu, setelah menikah, Kiang sebagai anak laki-laki Amah lebih memilih untuk meninggalkan ibunya demi karier dan keluarga barunya. Apa lagi Soei, yang kecanduan judi sampai terjerat hutang dan berakhir menyusahkan Amah akibat hal itu. Keduanya baru menunjukkan kepedulian ketika mengetahui Amah mengidap kanker dan hidupnya takkan lama lagi. Bahkan kakak laki-laki Amah mencampakkannya usai orang tua mereka wafat dan ia mendapatkan harta warisan.
M-lah cucu laki-laki yang akhirnya hadir untuk merawat Amah, meski tujuan awalnya adalah demi warisan. Kerja merawat lansia, yang identik dengan peran perempuan, kini dilakukan M. Bukan hanya membantu Amah berjualan setiap pagi; M juga menyiapkan makan untuk Amah, menemaninya tidur, hingga memandikan Amah. Ia menunjukkan bahwa kerja perawatan sesungguhnya mesti dilakukan oleh siapa saja, apa pun gendernya.
Dalam film, M juga sempat mengobrol dengan Mui tentang tips merawat kakek dan nenek mereka. Mui bilang, “Kau tahu apa yang tidak bisa diberikan para orang dewasa kepada mereka?” Lanjutnya, “Waktu.”
Care work adalah kerja yang sangat memakan waktu, tapi tidak diapresiasi selayaknya. Pada waktu bersamaan, perempuan dipekerjakan merawat komunitas, tetapi hanya ditempatkan pada jabatan rendah dan dibayar murah. Perempuan dianggap lebih banyak memiliki waktu bebas; alhasil, peran merawat komunitas dibebankan kepada perempuan. Namun, daya kuasa perempuan tetap rendah meski memikul beban itu. Diskriminasi terhadap perempuan begitu nyata dalam kerja-kerja perawatan.
Baca Juga: ‘Ecohorror’, Melihat Kualitas Film Horor yang Eksplorasi Masalah Lingkungan
Tidak peduli sekeras apa Amah bekerja sejak masih muda, ia tidak mendapatkan sedikit pun warisan yang justru dilimpahkan pada sang kakak. Tak peduli bagaimana Chew banting tulang menghidupi keluarga setelah berpisah dengan suaminya, Amah tetap mewariskan harta benda pada anak laki-lakinya. Pihak yang paling diuntungkan dari hal ini akhirnya tetaplah laki-laki.
Seperti anekdot yang terlontar antara Amah, Chew, dan M di masa akhir hidupnya: laki-laki mewarisi harta, perempuan mewarisi penyakit.