Bagaimana jadinya jika ilmu yang kita pelajari untuk menemukan keseimbangan diri, justru berbalik menjadi alat yang menekan kita untuk tampil ideal di mata orang lain?
Itulah yang kini banyak terjadi dengan konsep Feminine Energy, sebuah istilah yang awalnya dimaksudkan untuk membantu seseorang mengenali keseimbangan antara sisi lembut dan sisi aktif dalam dirinya, tetapi kini justru sering disalahartikan.
Berbicara tentang feminine energy seakan tidak pernah ada habisnya. Terlebih belakangan ini, istilah tersebut ramai dibicarakan di media sosial, terutama di TikTok. Banyak yang membahasnya seolah-olah energi ini menjadi kunci menuju kehidupan ideal agar dicintai, sukses, dan seimbang.
Belakangan ini, istilah Feminine Energy atau Energi Feminin sering kali muncul di berbagai platform media sosial, terutama TikTok. Banyak konten kreator yang membahasnya seolah-olah ini adalah kunci rahasia untuk mendapatkan cinta, keberlimpahan, hingga kesuksesan hidup.
Namun dibalik narasi yang tampak positif itu, ada sisi gelap yang jarang disadari, ketika Feminine Energy justru berubah menjadi bentuk baru dari toxic masculinity, bahkan racun bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Konde.co pernah menulis bahwa feminine energy selama ini dikonstruksikan sebagai energi yang membawa kasih sayang, suportif, sensitif, dan anggun. Sedangkan energi maskulin dipahami sebagai energi yang logis, kuat, disiplin, dan mendominasi. Dalam konteks itu, setiap orang sebenarnya memiliki kedua energi ini dalam diri mereka, hanya saja dengan porsi yang berbeda-beda.
Namun masyarakat yang tumbuh dalam budaya konvensional sering kali memaksa perempuan untuk memiliki feminine energy secara penuh, dan laki-laki untuk menonjolkan energi maskulinnya. Dari sinilah lahir berbagai stigma dan batasan yang menekan seseorang untuk menjadi ideal menurut standar sosial, bukan berdasarkan jati diri.
Baca juga: Feminine Energy dan Masculine Energy Bikin Kita Terpenjara dalam Nilai Gender Toksik
Berakar dari psikologi populer dan spiritualitas modern, konsep feminine energy dan masculine energy sebenarnya bukan hal baru. Istilah ini sering dikaitkan dengan teori keseimbangan diri yang muncul dari pemikiran Carl Jung tentang anima dan animus, sisi feminin dalam diri laki-laki dan sisi maskulin dalam diri perempuan.
Jung menilai, manusia akan lebih utuh jika mampu mengintegrasikan kedua energi ini dalam dirinya. Namun seiring berkembangnya tren cara-cara memunculkan Feminine Energy di media sosial, konsep yang awalnya bersifat reflektif dan personal itu kini bergeser menjadi formula instan untuk mencapai kesempurnaan diri yang justru sarat tekanan sosial.
Dalam psikologi populer, feminine energy digambarkan dengan kata-kata seperti soft, nurturing, receptive, emotional, sementara masculine energy dilekatkan pada sifat active, rational, goal-oriented, protective. Pembagian seperti ini memang tampak sederhana, namun problematis ketika dikaitkan dengan gender biologis.
Tanpa disadari, masyarakat kembali memantapkan ide lama bahwa perempuan harus lembut dan laki-laki harus tegas. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam teori feminis, karakter atau perilaku bukanlah bawaan biologis, melainkan hasil konstruksi sosial yang terus diproduksi lewat budaya, media, dan sistem nilai.
Feminisme gelombang kedua misalnya, melalui pemikir seperti Simone de Beauvoir dan Betty Friedan, menolak gagasan bahwa sifat feminin atau maskulin melekat secara alamiah pada tubuh tertentu.
“One is not born, but rather becomes, a woman,”
Ini menegaskan bahwa perempuan menjadi feminin karena dibentuk oleh ekspektasi sosial dan lingkungannya yang terus-menerus. Maka, ketika konsep feminine energy kini kembali populer tanpa kesadaran kritis, ia justru mereproduksi pengkotakan yang dulu ingin dibongkar gerakan feminis.
Pembagian feminin-maskulin juga menutup ruang bagi keberagaman identitas gender dan seksualitas. Dalam komunitas LGBTQ+, gagasan tentang energi yang harus selaras dengan jenis kelamin tertentu sering kali memperkuat stigma terhadap mereka yang menolak sistem biner.
Baca juga: Misogini Di Balik Stereotip Bimbo: Padahal Perempuan Bisa Tampil Otentik Sekaligus Pintar
Padahal, dalam kerangka queer theory yang dikembangkan oleh Judith Butler, identitas gender bersifat performatif, artinya selalu bergerak, cair, dan tidak bisa dikurung dalam dua kategori tetap. Ketika media sosial mengulang narasi bahwa feminine energy hanya milik perempuan dan masculine energy hanya milik laki-laki, yang ditegaskan bukan keseimbangan, melainkan kontrol sosial yang terselubung.
Kini, fenomena serupa muncul dalam bentuk yang lebih halus. Narasi tentang mengaktifkan feminine energy sering kali dikemas dengan gaya motivasi yang dikaitkan dengan gaya hidup, padahal banyak yang tanpa sadar mengulang lagi pola lama yang justru mengeksploitasi dan memposisikan perempuan sebagai objek sensasionalisme. Pola dimana perempuan harus lembut, tidak boleh terlalu logis, harus pasrah agar menarik, harus diam agar dicintai, dan harus dependent. Bukannya membebaskan perempuan dari belenggu peran gender, justru menjerumuskan mereka ke dalam jebakan baru yang tak kalah menyesakkan.
Konten-konten TikTok berupa narasi seperti “Terapkan feminine energy agar laki-laki jatuh cinta padamu,” “Cowok gak suka kalau cewek blaa blaa,” atau “Tips agar cowok tertarik padamu.” Konten semacam ini, jika ditelan mentah-mentah, akan sangat menyengsarakan diri perempuan.
Mirisnya, ini bisa berefek mengajak perempuan menjadi pribadi yang manipulatif dan menormalisasi hal negatif seperti kekerasan terhadap perempuan. Tak sedikit perempuan yang akhirnya mencela perempuan lain dengan kalimat seperti “Kayaknya kamu terlalu maskulin deh, makanya dia suka cewek lain.”
Alih-alih menjadi energi yang menyembuhkan, feminine energy malah jadi sumber rasa cemas dan tidak cukup, rasa insecure yang berlapis-lapis.
Baca juga: Dear Pemerintah, Begini Supaya ‘Gerakan Ayah Antar Anak Sekolah’ Bukan Cuma Lip Service
Padahal, jika kembali ke makna dasarnya, feminine energy sejati tidak menuntut kita untuk lemah atau pasrah. Ia justru mengajarkan kepekaan terhadap diri sendiri, mengenali emosi, menghormati intuisi, dan menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima.
Feminine energy yang sehat bukan tentang menekan diri agar sesuai ekspektasi, melainkan tentang menyatu dengan sisi lembut diri tanpa kehilangan jati diri yang kita punya.
Label feminin dan maskulin yang terlalu sempit telah menciptakan penjara bagi tindakan seseorang. Maka, ketika orang-orang di media sosial menafsirkan ulang konsep ini tanpa memahami akar sosial dan filosofinya, yang terjadi justru normalisasi perilaku yang berbahaya, termasuk pembenaran terhadap relasi yang tidak sehat, hingga manipulasi emosional yang dibungkus dengan kata energi.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti mengukur nilai diri dari seberapa feminin atau maskulin kita tampil. Energi dalam diri manusia bukanlah kompetisi antara dua kutub. Tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain.
Keduanya saling melengkapi, intuisi butuh tindakan, tindakan butuh empati. Dan keseimbangan itu tidak bisa diukur dengan seberapa lembut atau tegas seseorang tampil di mata orang lain, tapi dengan seberapa jujur seseorang menjalani dirinya sendiri.
Karena yang paling penting bukan bagaimana dunia melihat energi kita, tapi bagaimana kita merasa hidup dengan energi yang kita miliki.
(Editor: Luviana Ariyanti)






