Trigger warning/peringatan pemicu: artikel ini memuat review film ‘Room’ tentang pemerkosaan dan percobaan bunuh diri, berpotensi memicu perasaan tidak nyaman saat dibaca. Jika kamu merasa punya tendensi untuk terpicu, pertimbangkan untuk berhenti. Kamu bisa kembali membaca jika sudah merasa siap.
**
Seorang perempuan dan anak laki-lakinya hidup terkurung bertahun-tahun dalam sebuah ruangan sempit. Hanya ada tempat tidur kecil, televisi, lemari, wastafel, kloset, dapur sederhana, dan jendela atap kecil. Itulah ’Room’ yang jadi saksi kekerasan seksual dan perjuangan perempuan penyintas membebaskan diri dari kekejaman tersebut.
‘Room’ adalah judul film rilisan 2015 yang disutradarai Lenny Abrahamson, dengan Brie Larson dan Jacob Tremblay sebagai pemeran utama. Sesuai judul filmnya, ‘Room’ juga adalah sebutan bagi ruang pengap tempat Joy (Brie Larson) dan putranya, Jack (Jacob Tremblay), menjalani hari-hari mereka tanpa harapan untuk melihat dunia luar.
Joy Newsome adalah penyintas penyekapan dan kekerasan seksual. Tujuh tahun lalu, seorang lelaki berkacamata dan berjanggut lebat yang mereka sebut ‘Old Nick’ menculik Joy yang masih remaja. Dengan tipu muslihat, Old Nick berpura-pura membutuhkan bantuan Joy, namun segera menunjukkan wajah aslinya. Ia mengurung perempuan itu dalam gubuk kumuh yang mereka sebut ‘Room’. Di sana pula Old Nick memerkosa Joy berulang kali selama bertahun-tahun. Akibat kejahatan Old Nick, lahirlah Jack—seorang anak kecil yang tumbuh dalam keterasingan, tak menyadari bahwa ada kehidupan di luar dinding-dinding ruangan yang mengekangnya.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Terhadap Turis Mancanegara Kembali Terjadi, Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi Perempuan WNA?
Jack, dengan rasa ingin tahu dan polosnya, menjadi simbol harapan di tengah keputusasaan. Meskipun berada dalam realitas yang kelam, ia adalah satu-satunya cahaya dalam hidup Joy. Bagi Joy, Jack adalah alasan untuk terus bertahan, meski setiap hari ia dihantui trauma dari kekerasan seksual yang tak kunjung usai. Joy berusaha memberikan kehidupan terbaik yang ia bisa bagi Jack, meskipun hanya dalam batas ruangan kecil itu. Seringkali, mereka berteriak memanggil sesuatu—atau seseorang—dari luar, berharap ada yang mendengar jeritan mereka. Namun, suara itu seolah hilang ditelan udara, tak pernah sampai ke dunia luar.
Waktu bergulir; Jack kini berusia lima tahun, sepenuhnya bergantung pada Joy, yang di saat bersamaan berusia 24 tahun dan membesarkannya seorang diri dalam kondisi ekstrem. Keteguhan hati Joy menjadi kekuatan di balik perjuangan mereka untuk tetap hidup, mencari kebebasan, dan berharap pada dunia yang tak pernah mereka lihat.
Di balik dinding ‘Room’, mereka tidak hanya berjuang melawan keterbatasan fisik. Tetapi juga melawan kehampaan yang terus menggerogoti jiwa mereka. Meski Jack adalah buah kekejaman dari Old Nick si pelaku kekerasan, Joy mencintai anaknya dengan sepenuh hati. Keteguhan dan keberaniannya sebagai ibu untuk bertahan hidup dan menghidupi Jack tergambar dengan sangat baik melalui akting Brie Larson, yang patut menerima penghargaan Oscar.
Baca Juga: Stop Male Gaze, Bagaimana Seharusnya Media Memberitakan Kekerasan Seksual?
Bagi Jack, ‘Room’ berukuran 10 x 10 kaki itu adalah seluruh dunianya. Hidupnya terbatas pada ruang sesak itu, tempat ia tumbuh dan mengenal kehidupan hanya dari apa yang diceritakan oleh Joy, ibunya. Sedangkan bagi Joy, ‘Room’ adalah neraka—ruang yang menyimpan penghinaan dan kehancuran harkat martabatnya setiap malam. Namun, dengan kekuatan cinta dan keteguhan hati, ia berusaha mengubah neraka itu menjadi negeri ajaib bagi Jack.
Melalui dongeng dan cerita penuh khayal, Joy menciptakan harapan di tengah keterbatasan. Di sela-sela kisahnya, ia menanamkan benih kesadaran pada Jack. Bahwa dunia yang lebih luas menanti di luar sana—sebuah dunia yang penuh keajaiban, langit tak berbatas, planet-planet berputar di angkasa, dan kebebasan menjadi kenyataan, bukan sekadar mimpi dari layar televisi.
Pelarian dan Trauma
Suatu hari, celah melarikan diri itu muncul. Ketika waktu pelarian tiba, Joy merancang rencana yang penuh risiko. Ia membungkus Jack dalam karpet, menyusun skenario menghadapi Nick seakan-akan anak laki-lakinya meninggal karena sakit. Joy mengirim Jack keluar lebih dulu dengan harapan dia dapat mencari bantuan. Meski rencana tidak berjalan terlalu mulus, Jack berhasil kabur dari Nick dan membawa polisi untuk menemukan Joy serta menyelamatkannya dari Nick dan ‘Room’.
Namun, kebebasan fisik dari ruang yang mengungkung itu bukanlah akhir dari perjuangan mereka. Joy terus dihantui trauma mendalam. Meskipun tubuhnya bebas, jiwanya masih terkurung dalam bayang-bayang masa lalu. Ditambah lagi, banyak orang mempertanyakan keputusan Joy untuk mempertahankan Jack bersamanya. Menurut mereka, seharusnya Joy membiarkan Jack ‘memiliki hidup yang normal’. Hingga pada titik terendah, Joy merasa terpojok dan ingin mengakhiri hidupnya dengan menelan pil-pil.
Sedangkan bagi Jack, dunia luar adalah keajaiban sekaligus kebingungan. Sejak lahir, ia tidak pernah mengenal berbagai hal yang ada di balik dinding-dinding ‘Room’ yang sempit. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apakah gambar-gambar di televisi itu nyata? Apakah tikus, anjing, kucing, dan daun itu benar-benar ada?” mencerminkan keterasingannya dari realitas. Dunia yang ia kenal hanya sepotong kecil melalui jendela atap, atau gambar-gambar di televisi yang, bagi Jack, mungkin saja hanyalah mimpi.
Baca Juga: #StopNgelesUUTPKS: Dosen Pembimbing Unhas Lakukan Kekerasan Seksual, Kampus Gagal Beri Ruang Aman Bagi Perempuan
Akan tetapi, di tengah kerapuhan itu, Jack lagi-lagi menjadi penyelamat Joy. Dengan polos namun penuh kasih, ia berkata, “Aku menyayangimu, jangan pernah melakukan itu lagi.” Kata-kata itu menjadi jangkar bagi Joy, alasan baginya untuk tetap bertahan hidup. Jack adalah cahaya di tengah kegelapan; malaikat kecil yang diberikan semesta untuk mengembalikan makna hidup Joy.
Di akhir kisah, keduanya kembali ke ‘Room’ untuk mengucapkan selamat tinggal. Dengan penuh keteguhan, mereka melepas ruang yang memenjarakan mereka selama bertahun-tahun itu. ‘Room’ adalah saksi dari setiap kesedihan, perjuangan, dan cinta yang mereka miliki. Ucapan selamat tinggal itu bukan hanya penutupan sebuah bab. Melainkan awal perjalanan mereka menuju kehidupan yang lebih bebas, meski bekas luka itu mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang.
‘Room’ dan Perjuangan Perempuan Penyintas Kekerasan Seksual
‘Room’ (2015) garapan Lenny Abrahamson adalah karya film yang luar biasa. Ia menggambarkan sepenggal realitas dari keseluruhan kekerasan seksual di dunia yang kerap terjadi kepada perempuan dan anak.
Film ini menyoroti betapa pengalaman traumatis semacam itu dapat terkubur dalam benak penyintas hingga akhir hayatnya. Di balik kisah seorang remaja perempuan yang disekap oleh pemerkosanya selama bertahun-tahun, Abrahamson menuturkan cerita tentang kekuatan cinta dan keberanian seorang ibu untuk melindungi anaknya di tengah kegelapan yang paling pekat.
Melalui perjalanan Joy dan Jack, film ini menunjukkan bahwa jiwa manusia mampu melampaui batasan fisik untuk terus bertahan hidup. Di sisi lain, ia dibayangi masa lalu yang pahit dan getir. Dengan ketahanan dan keberanian, individu dapat menemukan harapan dan makna baru, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan.
Pesan film ini terasa begitu relevan. Mengingatkan kita bahwa setiap penyintas kekerasan seksual—aku, kamu, siapa saja—adalah sosok yang tangguh, seperti Joy dan Jack. Meskipun memori kelam itu akan terus membekas, ada yang berusaha berdamai dengan masa lalu dan mencari cara untuk menyembuhkan diri. Tentu tidak mudah untuk melepaskan kenangan yang paling kelam. Tetapi jangan biarkan masa lalu yang penuh penderitaan menghalangi langkah menuju kebebasan dan pemulihan.
Baca Juga: Rujak Pare Sambal Kecombrang, Upaya Melawan Lupa Tragedi Kekerasan Seksual Mei 1998
Di sisi lain, film ‘Room’ juga ironis jika ditonton di tahun 2025, 10 tahun setelah rilis perdananya. Joy dan Jack mungkin karakter fiksi dalam film ini. Namun, mereka menggugah kesadaran bahwa perempuan masih sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual sampai detik ini. Selain itu, trauma penyintas kekerasan seksual tidak berhenti begitu saja. Butuh waktu—jika bukan selamanya—untuk bangkit dan memulihkan diri. Hal ini kian sulit di tengah masyarakat misoginis yang punya tendensi menyalahkan perempuan korban maupun penyintas. Film ini juga seharusnya menjadi alarm yang membunyikan urgensi penanganan kekerasan seksual secara serius.
Film ditutup dengan sesi perpisahan Joy dan Jack pada ‘Room’. Bagi Joy dan Jack, ucapan selamat tinggal bukan sekadar melupakan. Melainkan upaya untuk berdamai dengan masa lalu. Langkah kecil menuju kehidupan baru itu, meski tidak sepenuhnya menyembuhkan, memberikan secercah harapan untuk masa depan.
Melalui kisah mereka, ‘Room’ mengajak kita untuk menyadari bahwa keberanian untuk melangkah ke depan, meskipun terjal, adalah perlawanan paling nyata terhadap luka yang pernah ada.
(sumber foto: A24)