Pendeta Emmy Sahertian menunjukkan ekspresi kesalnya. Ia memutar balik ingatannya sebagai penyintas pelanggaran HAM pada tahun 1998.
Perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu melihat, wajah-wajah yang pernah bercokol di tambuk kekuasaan Orde Baru, kini bisa melenggang duduk di posisi strategis dalam pemerintahan Prabowo Subianto. Padahal, pelanggaran HAM berat yang mereka diduga terlibat, sampai kini belum mendapatkan keadilannya.
“Itu membuat kami trauma,” ujar Emmy.
Bagi Emmy, revisi UU TNI yang beberapa waktu lalu disahkan pemerintahan Prabowo, menambah luka yang semakin dalam. Sebab baginya, itu bukan saja upaya legitimasi cara-cara ilegal aparat bersenjata untuk merepresi rakyat, tapi membangkitkan trauma di masa lalu. Ironisnya, kejadian pahit itu bisa saja terulang kembali. Terlebih, bagi perempuan Indonesia Timur sepertinya yang dimarjinalkan.
Militer baginya, bukan hadir melindungi rakyat. Namun, sebagai pengawal pemangku kepentingan seperti pemerintah dan korporasi. Mereka bahkan tak segan melakukan kekerasan terhadap rakyat yang melawan. Untuk menolak lupa, Emmy mengajak agar masyarakat Indonesia membuat ‘buku putih’ untuk mencatat dosa-dosa HAM pemerintah dan militer di Indonesia.
“Saya pikir, kalau Duterte di Filipina bisa dibawa ke pengadilan itu, kenapa Indonesia tidak? Karena dia punya catatan sejarah pelanggaran HAM yang tercatat dengan baik dan sudah dibahas secara ilmiah. Misalnya tentang pelanggaran HAM di Papua, kemudian kasus ‘65, di Aceh—kebetulan saya di dalam situ. Lalu Timor Timur,” ujar Emmy dalam diskusi daring Aliansi Perempuan Indonesia yang diikuti Konde.co, pada Selasa (18/3) lalu.
Selain Emmy, Mike Verawati juga menyuarakan ingatan kolektifnya tentang kontrol militer atas perempuan saat Orde Baru, yang polanya kini berulang di pemerintahan Prabowo. Pada Orde Baru, ada penerapan program Keluarga Berencana (KB) yang dijaga ketat oleh militer.
Kini situasinya serupa. Distribusi program bantuan sosial (bansos) sarat cawe-cawe militer di dalamnya. Yang paling kentara sejauh ini adalah pelaksanaan program kerja Prabowo-Gibran, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG). Pengelolaan MBG, dari penyediaan hingga pengawasan, secara terang-terangan dilakukan oleh tentara di sekolah-sekolah.
“Ini sebenarnya sudah sangat jelas. Cawe-cawe mereka sudah sangat jelas dan Revisi Undang-Undang TNI bukan memperbaiki, mengevaluasi, atau memperbaiki institusi militer dan kepolisian yang selama ini menjadi PR negara untuk menyelesaikan. Tetapi hanya untuk memperkuat bagaimana cawe-cawe militer di dalam ranah sipil,” kata Mike, Ketua Koalisi Perempuan Indonesia, dalam kesempatan sama.
“Mereka juga diperkuat untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah konflik yang selama ini justru banyak sekali korban yang jatuh di dalamnya. Termasuk perempuan, anak, dan kelompok minoritas,” lanjutnya.
Ia melanjutkan, “Jadi pasal 47 yang diubah dalam Revisi Undang-Undang TNI ini jelas-jelas membuka ruang untuk TNI memperlebar cakupan. Memperlebar ranah sipil dan ranah masyarakat yang itu bukan sama sekali tugas dari militerisme.”
Pengalaman yang diceritakan Emmy dan Mike menunjukkan betapa wajah militer di Indonesia selama ini sarat dengan kekerasan dan represi terhadap rakyat. Dengan disahkannya UU TNI, mereka kini juga bisa semakin leluasa merambah ke ruang-ruang sipil. Termasuk berbagai lini bisnis hingga jabatan pejabat publik.
Sejak awal tahun 2025, Konde.co mencatat rentetan ekspansi militer dalam urusan sipil sebagai berikut:
Basi-Basi HUT TNI: Militerisme (Terus) Melanggengkan Patriarki dan Misogini
Tiap tanggal 5 November, kita memperingati Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) TNI. Pada tahun ini, TNI bakal memamerkan seragam baru, Pakaian Dinas Lapangan (PDL), yang bakal dipakai oleh 100 ribu personel.
Berbagai kemeriahan pun ditunjukkan pada HUT TNI. Mulai dari perayaan upacara, parade pasukan, defile alutsista, hingga pertunjukkan operasi khusus seperti simulasi penanganan terorisme, kerusuhan dan bencana.
Namun, perayaan HUT TNI yang gegap gempita itu, kontras dengan situasi yang terjadi di negara ini. Dimana militeristik justru melanggengkan kekerasan dan melemahkan supremasi sipil. Mereka seringkali menggunakan cara-cara yang maskulin yang sangat sentralistik dan paternistik (merasa yang paling berkuasa).
Hal itu sebagaimana yang disampaikan Andy Yentriyani, eks Komisioner Komnas Perempuan dalam peluncuran Jurnal Prisma “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi” di Auditorium Perpustakaan Nasional.
“Yang sebetulnya penting adalah apakah terjadi perubahan perspektif dalam pengambilan keputusan yang menunjukkan keberpihakan atau pergeseran paradigma? Agar TNI tidak lagi menjadi institusi yang sangat sentralistik, paternalistik, dan menggunakan cara-cara kerja yang sangat maskulin,” ujar Andy dalam diskusi daring yang diikuti Konde.co, pada Selasa (16/9/2025).
Pergeseran paradigma ini bisa terlihat dari cara TNI merespons situasi ancaman pertahanan maupun konflik sosial. Andy mencontohkan penggunaan kekerasan oleh militer yang kerap kali berlebihan dan eksesif. Terutama ketika melibatkan pengamanan proyek strategis, konflik sumber daya alam, sengketa lahan, hingga situasi di Papua.
Kekerasan yang disebutkan Andy diakuinya berasal dari ketidakpatuhan pada supremasi sipil dengan cairnya TNI menjejaki ruang-ruang sipil.
Keterlibatan militer dalam ruang sipil sendiri selalu menjadi persoalan panjang dalam sejarah politik Indonesia. Setelah euforia Reformasi 1998 yang membuka harapan akan supremasi sipil, perjalanan bangsa ini justru kembali diwarnai oleh “arus balik militer ke dalam pemerintahan.”
Baca Juga: Bioskop Jadi Ajang Propaganda Pemerintah untuk Pamer ‘Prestasi’ Fana
Usman Hamid dalam kesempatan yang sama dengan Andy mengatakan bahwa fenomena ini bukan sekadar soal fungsi militer. Melainkan bagian dari gejala yang lebih luas yang mengarah pada pola otoritarianisme baru.
“Saya meletakkan relasi konfliktual elit sipil-militer itu sebagai bagian dari arus balik militer ke dalam pemerintahan. Arus balik militer ini tidak saya letakkan dalam skema fungsi militer. Melainkan sebagai bagian dari gejala yang lebih luas, yaitu bangkitnya negara integralistik ala Orde Baru.”
“Dengan kata lain, arus balik ini adalah salah satu saja dari fenomena-fenomena besar—seperti korporatisme, sentralisme, dan integralisme—yang seluruhnya justru menuju pada fasisme baru Indonesia,” papar Usman.
Dalam pandangan Usman, titik paling mencolok dari konflik sipil-militer terjadi pada masa Presiden B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya dianggap cukup berani mendorong proses penyelesaian pelanggaran HAM dan menjadi sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Habibie, misalnya, mendukung penggalian kuburan massal di Aceh yang dipimpin Komnas HAM bersama Baharuddin Lopa dan Asmara Nababan. Gus Dur bahkan melangkah lebih jauh dengan memberi dukungan penuh terhadap penyelidikan forensik di Timor Timur yang berujung pada rekomendasi pencopotan Panglima TNI saat itu, Jenderal Wiranto.
Baca Juga: Kantin Sepi, Perempuan dan Layanan Publik Kena Dampak MBG dan Pemangkasan Anggaran
Namun, langkah-langkah progresif ini memantik resistensi kuat dari kalangan militer, terutama Angkatan Darat. Perlawanan itu begitu solid hingga menciptakan perpecahan di kalangan elite sipil maupun militer. Dengan demikian, upaya menuju keadilan transisi terhenti di tengah jalan.
Dalam proses mendorong adanya keadilan itu, menurutnya, konflik sipil-militer yang paling mengemuka terjadi pada era Habibie dan era Gus Dur. Proses hukum ini sebenarnya awalnya mengalami kemajuan luar biasa.
“Namun, resistensi yang timbul dari kalangan militer, khususnya Angkatan Darat, begitu besar sampai pada titik tertentu menyebabkan perpecahan,” ungkapnya.
Setelah fase konflik itu, yang terjadi justru kompromi. Pada masa Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), relasi sipil-militer mengambil jalan tengah yang cenderung menguntungkan militer. Menurut Usman, situasi semakin memburuk di era Joko Widodo dan kini berlanjut di bawah pemerintahan Prabowo Subianto.
“Sayangnya, kemajuan luar biasa sekaligus kebuntuan akibat dari relasi konfliktual ini, lalu dilanjutkan dengan suatu proses relasi sipil-militer yang kompromistis di era Megawati dan juga di era SBY. Bahkan, relasi ini mengalami kemerosotan yang sangat tajam di masa pemerintahan Joko Widodo dan juga Prabowo Subianto—sesuatu yang sebenarnya bukanlah sebuah kejutan,” kata Usman.
Baca Juga: MBG Harus Dihentikan: Skandal Keracunan, Makanan Basi, Bias Gender, Hingga Bayang-Bayang Militer
Militerisme sebagai bentuk kontrol sosial yang melanggengkan neokolonialisme sekaligus memperkuat patriarki. Hal itu sebagaimana yang pernah diungkapkan Penulis dan Aktivis Feminis, Amina Mama. Ia menunjukkan bagaimana kehadiran militer dan struktur keamanan negara justru menciptakan ketidakamanan baru bagi perempuan. Mulai dari meningkatnya kekerasan berbasis gender hingga hilangnya ruang partisipasi politik.
Setali dengan Amina, Jacklyn Cock yang merupakan akademisi yang berfokus di isu Gender dan Militerisme dari Universitas Witwatersrand di Afrika Selatan, juga menyoroti bagaimana militerisme menciptakan budaya sosial yang mengagungkan kekuatan maskulin, sehingga melemahkan nilai-nilai kesetaraan.
Kritik serupa juga muncul dari gerakan feminis di Amerika Selatan dalam wujud kolektif Antimilitarist Feminist Network yang menentang kebijakan keamanan berbasis militer karena terbukti memperburuk kekerasan, memperlebar kesenjangan gender, dan membuat perempuan semakin rentan terhadap ketidakadilan struktural.
Hal ini sejalan dengan analisis Julia Suryakusuma mengenai konsep “Ibuisme Negara”, yang pada orde baru negara menggunakan peran domestik perempuan sebagai legitimasi ideologis sambil mengandalkan kekuatan militer untuk menekan oposisi politik di Indonesia.
Pembicaraan perempuan dalam militerisme tidak hanya soal berapa banyak perempuan yang masuk. Melainkan juga apakah institusi militer mampu mengubah logika kerja yang selama ini maskulin menuju pendekatan yang lebih inklusif dan proporsional.
Rekonsilidasi Militer Kian Nyata
Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa fungsi utama militer adalah fungsi pertahanan. Namun dalam praktiknya, militer semakin terlibat dalam program-program yang berada di luar domain tersebut.
Pengamat militer dan pertahanan, Al Araf, menyebut rezim Jokowi sebagai rezim yang membuka ruang terlalu besar bagi militer untuk masuk ke wilayah non-pertahanan.
“Secara empiris, sebagaimana kami tulis, rezim pemerintahan Jokowi dapat disebut sebagai rezim yang membangun kemunduran bagi reformasi TNI dan memberikan ruang yang terlalu jauh bagi militer untuk masuk ke wilayah-wilayah non-pertahanan.”
“Dasar konstitusional kita jelas: fungsi utama militer adalah fungsi pertahanan. Oleh karena itu, ketika militer keluar jauh dari fungsi itu—dengan mengurusi program cetak sawah, ketahanan pangan, proyek strategis nasional, penanganan aksi massa, hingga isu buruh—maka dapat kita katakan bahwa ia telah keluar dari fungsi pertahanan dan masuk ke dalam fungsi-fungsi sosial-politik lainnya,” kata Al Araf dalam peluncuran Jurnal Prisma.
Al Araf merujuk pada pemikiran Salim Said, yang menegaskan bahwa memahami dinamika militer berarti memahami bagaimana militer kerap bergerak keluar dari fungsi pertahanan menuju fungsi-fungsi lain. Dalam kerangka ini, rezim Jokowi telah membuka “kotak Pandora”, dan di era pemerintahan baru pasca-Jokowi, kotak itu justru dibuka lebih lebar, misalnya dengan pelibatan TNI dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG).
Baca Juga: Prabowo Jangan Salah Fokus: Papua Lebih Butuh Akses Pendidikan, Bukan Makan Bergizi Gratis
Menurut Al Araf, ada perbedaan mencolok antara rezim Jokowi dan rezim yang baru. Pada era Jokowi, politisasi lebih banyak diarahkan kepada kepolisian, sementara militer berada di “belakang layar”. Namun, di rezim berikutnya, pola kekuasaan berubah, militer justru dijadikan instrumen utama untuk menopang kekuasaan politik.
“Pada rezim sebelumnya, ruang politisasi terhadap aktor keamanan—khususnya institusi kepolisian—terjadi sangat kuat, sementara militer berada di belakang layarnya. … Pada rezim yang berkuasa sekarang, terjadi pergeseran: kekuatan politik yang dibangun justru lebih mengedepankan instrumen militer untuk menopang dan melanggengkan kekuasaan. Oleh karena itu, upaya memberikan ruang bagi militer dalam berbagai isu non-pertahanan menjadi sangat tinggi,” paparnya
Al Araf memetakan setidaknya enam tahap rekonsolidasi militer yang saat ini tengah berlangsung.
1. Rekonsolidasi Regulasi. Ini dilakukan dengan merevisi UU TNI yang berdampak pada semakin mudahnya militer masuk ke ruang non-pertahanan.
2. Rekonsolidasi Politik. Wujudnya bisa dengan distribusi personel TNI ke jabatan-jabatan sipil, termasuk kementerian dan lembaga negara.
3. Rekonsolidasi Struktur. Upaya yang dilakukan adalah dengan membangun batalion-batalion teritorial dan tempur di berbagai daerah.
4. Rekonsolidasi Peran. Cara yang ditempuh dengan pelibatan militer dalam program non-perang termasuk ketahanan pangan yang banyak dicanangkan dalam proyek “pembangunan” ala pemerintah.
5. Rekonsolidasi Ekonomi. Ini membuka peluang kembalinya bisnis miiliter dalam format baru.
“Keenam langkah rekonsolidasi militer ini tidak lain dan tidak bukan sedang terjadi dan berjalan hari ini untuk menopang rezim pemerintahan yang ada dan melanggengkannya,” jelas Al Araf.
Baca Juga: “Kami Bukan Sekadar Konten” Perempuan Papua Menggugat Objektifikasi di Media Sosial
Pengamatan Al Araf mengerucut pada upaya politisasi militer demi kepentingan kekuasaan. Rekonsolidasi dalam enam tahap itu menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi ancaman serius.
“Dengan kata lain, saya ingin menyimpulkan bahwa ada upaya politisasi terhadap militer yang sedang dibangun kini dan ke depan, demi kepentingan politik kekuasaan. Menurut saya, ini adalah pertanda buruk bagi kehidupan demokrasi di Indonesia,” pungkasnya.
Rekonsiliasi Regulasi: RUU TNI Diteken, Babak Baru Militerisme Dimulai
“Saya lebih TNI dari banyak TNI!”
Ungkapan tersebut disampaikan Prabowo Subianto pada debat Calon Presiden 2019 yang kala itu berhadapan dengan ayah wakilnya kini, Joko Widodo.
Ungkapan tersebut mewujud dalam kebut Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan pada 20 Maret 2025. Kebijakan ini lantas menandai babak baru hubungan sipil-militer di Indonesia. Dengan sederet kontroversinya, alih-alih memperkuat profesionalisme militer dan supremasi sipil, perubahan ini dianggap banyak akademisi memperlebar celah dominasi militer dalam ranah sipil.
Omar Farizi Wonggo, analis politik keamanan dari Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45) dalam forum yang sama dengan Usman, menyebut fenomena ini sebagai upaya menormalisasi militerisasi dalam birokrasi.
Baca Juga: The Banality Of State Violence, We Urgently Need Police Reform
“Dengan meningkatnya militerisasi di ranah sipil, sudah pasti akan mengikis ruang sipil karena yang terjadi adalah upaya menormalisasi militarisasi dalam birokrasi. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ini merupakan ultimatum bagi kita bahwa ini merupakan upaya pelemahan supremasi sipil yang semakin dalam,” jelasnya.
Sejak awal, publik sudah meragukan legitimasi revisi UU TNI. Proses pembahasan dilakukan secara terburu-buru dan tertutup, bahkan rapat final dilangsungkan di hotel mewah Fairmont, Jakarta. Sejumlah elemen masyarakat sipil menilai langkah ini melanggar asas keterbukaan pembentukan undang-undang.
Baca Juga: Kemana Harus Mencari Makanan Tradisional Papua? Hutan Kami Dirusak, Perempuan Diserbu Makanan Dari Luar
Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi keamanan mengecam jalur “belakang pintu” tersebut sebagai pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi partisipatif.
UU TNI yang baru dianggap memuat beberapa ketentuan yang dinilai sebagai bentuk legalisasi dwifungsi gaya baru.
Pasal 7 menambah tugas non-perang: penanggulangan ancaman siber dan perlindungan WNI di luar negeri.
Pada Pasal 47 memperluas jabatan sipil yang bisa diisi prajurit aktif, dari 10 menjadi 14 lembaga, termasuk BNPB, Bakamla, hingga Kejaksaan (Jaksa Agung Muda Bidang Militer).
Pasal 53 menaikkan usia pensiun perwira tinggi hingga 63 tahun dengan perpanjangan tertentu.
KontraS menilai perluasan ini bukanlah penguatan profesionalisme, melainkan pelemahan supremasi sipil. Lebih lanjut, dalam rilisnya KontraS menegaskan bahwa langkah tersebut justru memberi ruang lebih besar bagi militer untuk masuk ke ranah yang seharusnya dikelola lembaga sipil.
Baca Juga: Kemana Harus Mencari Makanan Tradisional Papua? Hutan Kami Dirusak, Perempuan Diserbu Makanan Dari Luar
Kasus korupsi Basarnas 2023 menjadi contoh konkret. Kepala Basarnas saat itu, Henri Alfiandi, adalah perwira aktif TNI. Skandal itu memperlihatkan dilema akuntabilitas yang terjadi. Dalam kerangka analisis Omar Farizi, normalisasi militerisasi seperti ini akan menciptakan lingkaran setan. Sipil yang lemah dianggap perlu diselamatkan militer, tetapi kehadiran militer justru semakin melemahkan sipil dan memperkuat militer itu sendiri.
“Hal ini akan menciptakan lingkaran setan, sipil terlihat lemah sehingga militer perlu intervensi, kemudian sipil semakin lemah yang justru menguatkan posisi militer itu sendiri. Yang terjadi bukanlah penguatan sipil untuk menciptakan militer yang lebih profesional atau supremasi sipil yang lebih baik,” terangnya.
Baca Juga: MBG Harus Dihentikan: Skandal Keracunan, Makanan Basi, Bias Gender, Hingga Bayang-Bayang Militer
Kondisi ini diperburuk dengan dicabutnya mekanisme check and balances DPR terhadap Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Menurut Omar, aturan baru ini menanggalkan peran sipil dalam mengawasi TNI. Padahal, regulasi OMSP hanya bersifat “mengizinkan”, bukan berarti harus dilaksanakan secara maksimal.
“Yang perlu dilakukan adalah penguatan sipil, bukan memiliterisasi atau melakukan sekuritisasi dalam berbagai isu. Undang-Undang TNI terbaru mencabut atau menanggalkan kemampuan DPR—atau pihak sipil dalam hal ini—untuk bisa memberikan check and balances dalam pelaksanaan OMSP itu sendiri,” kritik Omar.
UU TNI 2025 memperlihatkan babak baru militerisasi. Alih-alih memperkuat sipil, negara justru memberi ruang lebih luas bagi militer untuk hadir di luar fungsi utamanya. Bila pola ini terus berlanjut, risiko yang dihadapi bukan hanya kaburnya batas sipil-militer, melainkan juga melemahnya demokrasi Indonesia itu sendiri.
“Apa yang akan terjadi bila sipil sudah kalah, militer pun gagal menjawab tantangan, dan tidak ada lagi kekuatan yang bisa menyeimbangkan negara?” refleksi Omar.
Rekonsilidasi Politik: Militer Semakin Menjauh Dari Barak
Merujuk pada data dari Babinkum TNI dalam sebuah diskusi di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yang dicatat Imparsial, terdapat setidaknya 2.500 TNI aktif dalam jabatan sipil pada 2023.
Penempatan prajurit aktif dalam birokrasi sipil tidak sekadar soal legalitas, melainkan juga soal sistem merit. Jabatan eselon I dan II yang semestinya menjadi puncak karier Aparatur Sipil Negara (ASN) kini ditempati perwira militer aktif. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), sebelum dibubarkan, berulang kali menerima aduan bahwa perwira aktif yang ditunjuk cenderung membawa staf militer sendiri, mempersempit peluang ASN yang telah berkarier puluhan tahun.
Dalam beberapa kasus, prajurit bahkan mendapatkan kenaikan pangkat khusus agar setara dengan jabatan sipil yang ia duduki. Kasus Mayor (kini Letkol) Teddy Indra Wijaya, sekretaris kabinet aktif, menjadi contoh paling terang, ia tetap berstatus perwira aktif dan mendapat kenaikan pangkat meski tidak sesuai mekanisme merit reguler.
Baca Juga: Bioskop Jadi Ajang Propaganda Pemerintah untuk Pamer ‘Prestasi’ Fana
Isu rekonsolidasi militer di ranah sipil sulit dilepaskan dari catatan kelam pelanggaran HAM berat. Banyak eks-perwira TNI yang disebut-sebut terlibat dalam kasus semacam Tragedi 1965, Talangsari 1989, Timor Timur 1999, hingga Trisakti-Semanggi 1998, kini justru mengisi jabatan sipil atau politik. Tim Mawar nampak mekar dari deretan nama purnawirawan terkait dengan pelanggaran HAM berat yang kini hangat dalam peluk kuasa Prabowo-Gibran.
Meski sebagian sudah pensiun, keberadaan mereka di panggung sipil tanpa proses akuntabilitas banyak dipertanyakan.
Laporan KontraS dan berbagai organisasi masyarakat sipil berkali-kali menekankan bahwa ketiadaan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus besar membuat transisi demokrasi Indonesia rapuh. Pengisian jabatan sipil oleh eks-TNI tanpa mekanisme vetting menambah luka lama bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang belum mendapatkan keadilan. Sementara mereka yang dituduh terlibat justru diberi posisi kuasa.
Rekonsolidasi Struktur: Transformasi Kodim Hingga 100 Batalion Teritorial Baru
Pengamat militer Made Supriatma mengungkap sebuah transformasi struktural besar-besaran dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat. Kebijakan ini tidak hanya menambah jumlah personel, tetapi secara fundamental mengubah peran dan fungsi komando teritorial, dari ujung Komando Distrik Militer (Kodim) hingga pembentukan brigade-brigade baru, yang erat kaitannya dengan agenda pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Inti dari transformasi ini adalah penambahan satuan organik di bawah Kodim. Seperti diungkapkan Supriatma, perubahan ini bersifat historis.
“Ini akan mengubah semua fungsi Kodim karena dalam Kodim itu akan membawahi satu Batalyon Teritorial Pembangunan dan dua Batalyon Komponen Cadangan. Jadi akan ada tiga batalyon di bawah Kodim. Ini tidak pernah ada sebutnya dalam sejarah militer Indonesia bahwa Kodim sebagai unit teritorial akan memiliki batalyon teritorial yang pada intinya adalah batalyon tempur,” tegas Supriatma.
Secara tradisional, Kodim adalah tulang punggung komando teritorial TNI AD yang berfungsi sebagai ujung tombak pembinaan teritorial dan kemanunggalan dengan masyarakat. Dengan memiliki tiga batalyon yang ditekankan sebagai unit tempur, esensi Kodim berubah menjadi semacam “mini-komando tempur” yang tersebar di ratusan wilayah di Indonesia.
Hal ini berpotensi meningkatkan militarisasi di tingkat daerah dan menggeser fungsi pembinaan teritorial menjadi lebih ofensif.
Baca Juga: ‘Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?’ Perempuan Papua Alami Diskriminasi Berlapis di Indonesia
Sebelum batalyon-batalyon tersebut berdiri penuh, sebuah mekanisme perintis telah diluncurkan, yaitu Kompi Produksi. Supriatma menemukan fakta bahwa Kodim-Kodim telah aktif membentuk unit-unit ini.
“Saya lihat di banyak tempat setelah saya selidiki itu ternyata Kodim sudah mulai membuat kompi produksi yang di dalamnya ada pleton pertanian, pleton peternakan, pleton perikanan, dan pleton kesehatan. Hal yang sama juga ada di batalyon teritorial pembangunan. Ada kompi pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan,” ujarnya.
Yang patut dicermati adalah penegasan Supriatma bahwa unit-unit ini bukanlah sekadar koperasi atau unit logistik biasa, melainkan unit tempur.
“Jadi ini sebuah fungsi dan harus diingat bahwa batalyon atau kompi ini adalah semuanya adalah unit tempur ya, bukan unit produksi semata dan saya kira mungkin unit produksinya hanya mungkin sementara.”
Pernyataan ini menyiratkan adanya misi ganda dalam tubuh satuan-satuan baru ini. Mereka adalah prajurit tempur yang secara simultan ditugaskan untuk kegiatan produksi.
Ini mengingatkan pada konsep “TNI Masuk Desa” di era Orde Baru, tetapi dengan struktur yang lebih permanen dan terlembagakan. Supriatma secara eksplisit menghubungkan hal ini dengan program andalan Prabowo, yakni Makan Bergizi Gratis.
“Dan program ini berkaitan dengan program makan siang bergizi dari Presiden Prabowo,” ungkapnya.
Baca Juga: Kisah-Kisah Merawat Diri Perempuan Aktivis Pembela HAM di Tanah Papua
Tidak berhenti di tingkat Kodim, ekspansi ini juga terjadi dalam skala yang lebih besar dengan pembentukan 100 Brigade Infanteri Teritorial di 2025, yang menurut Supriatma bisa lebih banyak di tahun mendatang. Yang lebih mencolok adalah fokus pembentukan satuan-satuan baru di daerah yang secara historis diwarnai konflik.
“Ada Brigade infanteri teritorial pembangunan yang tahun ini ditambah 100 batalyonnya dan kemungkinan akan berkembang tahun depan.”
“Dari brigadi infanteri teritorial itu akan ada empat yang ada di Papua dan 25 batalyon teritorial pembangunan akan dibentuk di Papua dalam tahun ini saja. Lima batalyon teritorial pembangunan akan ditempatkan di Aceh di daerah-daerah yang dianggap sebagai daerah rawan.”
Penempatan lebih dari 60% (25 dari 40 batalyon yang disebutkan untuk Papua dan Aceh) dari satuan baru di dua daerah bermasalah keamanan ini mengindikasikan bahwa prioritasnya bukan hanya produksi pangan, melainkan juga penguatan postur keamanan dan kendali teritorial di wilayah rawan.
Perubahan Kodim dengan menambahkan batalyon tempur menguatkan anggapan bahwa TNI sedang melakukan konsolidasi dan penetrasi kekuatan hingga ke level akar rumput. Ini berpotensi mempersempit ruang sipil dan meningkatkan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah sosial.
Dengan memanfaatkan TNI untuk program-program pembangunan dan logistik pangan seperti program makan bergizi, terjadi erosi terhadap peran kementerian/lembaga sipil. TNI tidak lagi sekadar membantu, tetapi menjadi eksekutor utama, sebuah peran yang bertolak belakang dengan semangat reformasi TNI yang memisahkan peran militer dari bidang-bidang sipil.
Rekonsolidasi Peran: TNI Urusi Food Estate Hingga MBG
Sejak masa kampanye, Presiden Prabowo Subianto menempatkan isu pangan sebagai pilar utama pembangunan. Dalam berbagai pidatonya, Prabowo menegaskan bahwa persoalan pangan selalu menyangkut pertahanan negara. Dengan narasi ini, keterlibatan TNI dalam program pangan nasional seakan wajar dan bahkan strategis, hingga seakan sah menjadi urusan militer.
Bersamaan dengan ungkapan itu, food estate, cetak sawah, dan program makan bergizi gratis (MBG) menjadi arena paling kasat mata dari rekonsolidasi peran militer di luar fungsi pertahanan yang diamini negara.
Proyek food estate menjadi jejak paling kentara bagaimana militer mengisi ruang sipil lima tahun terakhir. Sejak 2020, Presiden Jokowi menunjuk presiden saat ini yang dahulunya Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto sebagai leading sector lumbung pangan nasional.
Ada dua skema dalam pengerjaan food estate, yakni skema non-militer (petani/kelompok tani dan investor), dan skema militer yang dikelola Kemenhan melalui Badan Cadangan Logistik Strategis Nasional (BCLSN).
BCLSN dikelola dengan struktur ketentaraan dengan menggunakan prajurit TNI dan Komponen Cadangan (Komcad). Bahkan, istilah yang dipakai pun militaristik, seperti Kostratani (Komando Strategi Pembangunan Pertanian), meniru diksi Kostrad.
Target food estate oleh Prabowo dipatok 1,4 juta hektare per tahun ini. Di Papua saja, program ini mencakup Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digoel, Asmat, dan Nabire.
Namun, kehadiran militer dalam food estate memicu banyak kritik. Pertama, secara hukum, pelibatan TNI tidak didukung keputusan politik negara sebagaimana diwajibkan UU No. 34/2004, melainkan hanya MoU.
Baca Juga: ‘Telur Busuk hingga Militerisme’ Temuan ICW Tunjukkan Carut Marut Proyek MBG
Kedua, secara profesionalisme, prajurit TNI beralih dari manajemen pertahanan menjadi manajemen pertanian—membajak dan menanam singkong—sehingga fungsi pokok mereka menjadi kabur.
Ketiga, secara sosial, di Papua, food estate berencana membuka 2,6 juta hektare hutan adat. Hal ini berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat, yang tanahnya diambil tanpa persetujuan, bahkan dengan intimidasi militer
Keterlibatan Komcad juga menimbulkan kecemasan. Jika ribuan orang yang dilatih dengan disiplin militer ditempatkan untuk menjaga lahan pangan, benturan horizontal dengan masyarakat lokal nyaris tak terhindarkan.
Selain food estate, program cetak sawah juga menunjukkan bagaimana militer mengambil alih fungsi pembangunan sipil. Pemerintah menargetkan pembukaan sawah baru dalam skala raksasa: Kodam VI/Mulawarman menargetkan 150 ribu hektare di Kalimantan Timur. Sementara Kalimantan Selatan dicanangkan membuka 500 ribu hektare.
Fakta di lapangan menunjukkan keterlibatan langsung komando teritorial. Kodam, Korem, hingga Koramil merangsek dari sekadar pengaman menjadi eksekutor pembukaan lahan, penggalian irigasi, dan distribusi logistik.
Padahal, pengalaman masa lalu telah memberi pelajaran pahit. Audit BPK pada periode 2015–2019 mencatat program cetak sawah bermasalah karena ditemukan dilakukan tanpa survei, melintasi hutan lindung, dan merugikan negara miliaran rupiah.
Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Makan Bergizi Gratis Dimulai, Sayur Kecut dan Program Tuai Kritik
Sementara itu, program andalan Prabowo yakni Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disorot karena maraknya keracunan, dinilai sejak awal telah kabur dari tujuannya sendiri dengan menjadikan militer sebagai pondasi. Hal ini disampaikan Eva Nurcahyani, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tertulis dalam laporan Konde.co.
“Militer terlibat dalam aspek logistik, produksi, dan distribusi pangan. Nah, dari keterlibatan TNI dan Polri ini juga sebenarnya banyak catatan, kita bisa tahu bahwa ini tidak sesuai dengan tugas pokok TNI berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004,” ujarnya.
Kritik terhadap militerisasi ini semakin kuat menyusul komposisi pejabat BGN yang didominasi oleh mantan personel TNI-Polri. Faktanya, enam dari sepuluh pejabat tertinggi BGN berasal dari latar belakang tersebut.
Salah satu nama yang mencolok adalah Mayjen (Purn) Dadang Hendrayudha yang namanya terkait dengan Tim Mawar pada era penculikan aktivis 1997-1998.
Eva menegaskan bahwa lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi ruang aman dan ramah anak, justru berubah menjadi tempat kontrol militer.
“Dan kami melihat bahwa fenomena ini akhirnya memperlihatkan tren militerisasi ruang sipil yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan profesionalisme dalam layanan publik,” tegasnya.
Baca Juga: Kabinet Mangkir, Isu Perempuan Tak Hadir: Riset 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
Masalah fundamental lainnya terletak pada proses rekrutmen. Program perekrutan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) sebagai kepala dapur SPPG justru menggandeng Kementerian Pertahanan dengan pendidikan militernya.
“Sebenarnya di awal mencetuskannya MBG ini juga sebenarnya Bappenas punya kekeliruan. Dia memilih mitra kementerian pertahanan, yang akhirnya mencetak SPPI yang sistem pendidikannya pun juga sistem pendidikan militer yang justru malah bukan belajar soal konteks gizi dan lain sebagainya. Itu sudah sangat keliru,” sorot Eva.
Kebijakan diskriminatif yang bias gender juga diakui secara terbuka oleh pihak Universitas Pertahanan. Dalam klarifikasi di Instagram, mereka menyatakan bahwa pembatasan kuota perempuan dilakukan karena seluruh SPPI wajib menjalani pelatihan dasar militer dan akan ditetapkan sebagai Komponen Cadangan Pertahanan Negara (Komcad) yang dapat ditugaskan di daerah dan medan yang sulit.
Temuan Konde.co lebih lanjut mengungkap keterlibatan langsung TNI dan Polri dalam operasional program. TNI, melalui sayap seperti Satuan Koperasi Kesejahteraan Prajurit (SKKP), menargetkan pembangunan setidaknya 710 dapur SPPG.
Rekonsolidasi Ekonomi
“Militer tidak boleh berbisnis” jadi slogan yang tegas dan dipegang erat sejak Suharto lengser. Revisi UU TNI terbaru juga belum mengubah klausul ini. Tujuannya untuk memastikan pemisahan tegas antara fungsi pertahanan dan aktivitas ekonomi.
Dua dekade lebih sejak Reformasi, keterlibatan militer dalam bisnis seharusnya sudah menjadi bagian masa lalu. Namun, kenyataan berbicara lain. TNI bahkan kini ikut masuk dalam bisnis farmasi, dari produksi hingga distribusi obat. Lewat unit Lembaga Farmasi Tentara Nasional Indonesia (Lafi), tentara memproduksi obat murah secara massal untuk dipasarkan ke masyarakat lewat Apotek Merah Putih. Kemenhan menyebut langkah ini sebagai upaya kemandirian nasional di bidang farmasi.
Dalam penelitian terbaru LAB 45, jejak bisnis militer memang masih nyata, bahkan terang. Radhityana Muhammad, Analis Utama Ekonomi Politik LAB 45, menekankan hal tersebut.
“Secara legal formal, bisnis militer sebenarnya sudah dilarang berdasarkan Undang-Undang TNI pasca-Reformasi. Namun, berdasarkan berbagai laporan, aktivitas bisnis militer itu masih ada. Meski dalam bentuk-bentuk yang mungkin berbeda dari sebelumnya,” jelasnya.
Baca Juga: Menelisik ‘Wawancara Eksklusif’ Prabowo dengan 6 Pemred Media, Soal Klaim MBG Sukses Hingga Kekuatan Asing
Pernyataan Radit itu memperlihatkan bahwa larangan hukum saja tidak cukup. Militer, yang sejak era Orde Baru terbiasa menguasai ruang ekonomi, ternyata masih memiliki berbagai saluran untuk bertahan. Penelitian LAB 45 menemukan tiga alasan utama: relasi sipil-militer yang belum selesai, keterbatasan anggaran, dan kebutuhan rezim untuk menjaga konsolidasi politik.
Radit menjelaskan bahwa secara historis, keterlibatan militer dalam bisnis tumbuh dari fungsi ganda ABRI di masa Orde Baru. Dalam konteks itu, tentara bukan hanya alat pertahanan, tapi juga bagian dari mesin ekonomi-politik negara.
“Secara historis, bisnis militer pada masa Orde Baru sangat melekat pada fungsi ABRI, yang menjadi celah bagi masuknya aktivitas bisnis tersebut,” katanya.
Namun di sinilah letak kontradiksi. Militer adalah organisasi yang sah menggunakan kekerasan demi keamanan negara. Bisnis, sebaliknya, adalah arena fleksibel yang mengejar keuntungan. Keduanya sulit disatukan.
“Jika misi militer adalah menjaga keutuhan dan keamanan negara, maka bisnis militer berorientasi pada keuntungan dengan fleksibilitas alur bisnis. Ini menciptakan kontradiksi atau oksimoron dalam penelitian kami—ada paradoks antara bisnis dan fungsi teritorial militer yang seharusnya dibatasi,” tegas Radit.
Baca Juga: Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis
Dengan kata lain, setiap kali militer masuk ke ranah bisnis, fungsi utamanya berpotensi terdistorsi. Disiplin komando yang semestinya diarahkan pada pertahanan negara berubah menjadi modal sosial untuk menguasai pasar dan aset ekonomi.
Meski era Orde Baru telah berakhir, Radit mengungkapkan bahwa militer tetap menemukan celah baru, baik lewat sayap-sayap koperasi maupun penempatan posisi seperti komisaris bagi prajurit purnawirawan atau yang dimutasi.
“Meski hubungan sipil-militer hari ini tidak seperti dulu, kami melihat bagaimana militer masuk melalui celah-celah sempit. Misalnya, koperasi di tiap angkatan masih ada sampai sekarang. Jika dulu bisnis militer dilakukan terang-terangan, sekarang banyak personel aktif atau purnawirawan yang ditempatkan di posisi di BUMN atau swasta.”
Fakta ini menunjukkan transformasi strategi. Alih-alih langsung membangun perusahaan sendiri, kini perwira aktif maupun purnawirawan menempati posisi strategis di perusahaan milik negara atau bahkan swasta. Menurut penelitian LAB 45, dari 75 personel yang diteliti, mayoritas punya latar belakang yang membuat mereka mudah masuk ke dunia bisnis.
“Dari 75 personel yang kami teliti, 60-61 orang memiliki latar belakang yang berpotensi dalam bisnis. Dan sebagian besar dari mereka pernah memimpin regu atau komando. Ada kecenderungan bahwa dunia bisnis atau sipil membutuhkan figur dengan pengalaman komando untuk membantu operasional mereka,” ungkap Radit.
Baca Juga: Pendidikan Makin Dikomersilkan, Kelompok Miskin Kian Tertinggal
Rayhan Noor, Koordinator Analis LAB 45, memperdalam temuan ini. Ia menyebut bahwa penelitian mereka mengidentifikasi 69% dari 75 perwira yang diteliti kini duduk di posisi sipil. Bahkan ada sembilan personel aktif yang justru memegang jabatan di institusi sipil dengan potensi bisnis tinggi.
“Mereka tersebar di industri pertahanan sebagai komisaris, atau menjadi anggota satuan tugas (satgas). Posisi satgas ini sangat berpotensi dimanfaatkan untuk bisnis, baik melalui permainan hukum maupun cara-cara lain yang berdampak ekonomi bagi individu tersebut,” kata Rayhan.
Satgas, yang semestinya bersifat sementara dan fungsional, pada praktiknya bisa menjadi pintu masuk untuk mengakses proyek dan sumber daya. Lebih jauh lagi, Rayhan mengungkapkan tren militerisasi di perusahaan besar Indonesia.
“Kami juga melihat tren di 10 perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di Indonesia, yang ternyata juga memiliki komisaris dari kalangan purnawirawan TNI. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya BUMN, tetapi swasta juga mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam proses bisnis, di luar profesionalisme militer mereka,” ungkapnya.
Hal ini menandakan bahwa dunia bisnis sendiri secara aktif membuka ruang bagi militer. Bukan sekadar “militer yang masuk”, melainkan “borjuis sipil yang mengundang”.
Keterbatasan anggaran juga menjadi alasan mengapa bisnis militer tetap bertahan. Salah satu jalan pintasnya adalah lewat lembaga extra budgetary funds (EBF).
Baca Juga: Jadi Finalis Pemimpin Terkorup, Aktivis Tuntut Pengadilan Publik untuk Jokowi
“Di Indonesia, kami memetakan ada 11 lembaga semacam ini yang berada di bawah pengawasan kementerian/lembaga dan mengelola investasi serta aset yang sangat besar. Dari 11 lembaga tersebut, total asetnya mencapai Rp 13.185,6 triliun, dan 86,5%-nya (sekitar Rp 11.405 triliun) dimiliki oleh Danareksa. Jumlah aset yang sangat besar ini—jika dibandingkan dengan aset negara Republik Indonesia yang sekitar Rp 1.600 triliun—menunjukkan potensi pengaruh yang besar,” papar Rayhan.
Menurut Rayhan, potensi itu sudah terlihat ketika tiga BUMN diubah menjadi holding pangan dengan direksi yang berasal dari kalangan militer.
“Danantara yang dibentuk oleh sipil sendiri belum memiliki tata kelola yang baik. Mengacu pada kerangka Santiago Principles yang merupakan standar praktik terbaik untuk sovereign wealth funds, terdapat 24 prinsip yang harus diikuti. Dannatara saat ini mungkin hanya memenuhi sekitar 30%-nya. Tata kelola yang lemah inilah yang membuka potensi bagi militer untuk beraktivitas dan menjalin hubungan erat dengan bisnis,” ungkapnya.
Dengan kata lain, bukan hanya militer yang lemah dalam disiplin hukum, tetapi lembaga keuangan negara sendiri membuka celah karena buruknya tata kelola.
LAB 45 juga menyoroti faktor politik dalam hal ekonomi ini. Menurut Rayhan, bisnis militer justru tidak disentuh dalam revisi UU TNI terbaru.
“Kami menduga elit menginginkan stabilitas rezim demokratis jangka pendek, sehingga menghindari demokrasi yang tidak terkendali,” ujarnya.
Namun, jika keterlibatan ini dibiarkan, ada ancaman serius bagi ekonomi dengan memperbesar ekonomi bayangan (segala aktivitas ekonomi yang tidak tercatat secara resmi oleh negara).
“Jika tren ini berlanjut, bisnis militer justru akan menghambat target pertumbuhan ekonomi 8% Prabowo. Praktik ini akan memperbesar shadow economy (ekonomi bayangan). Data tahun 2023 menunjukkan shadow economy Indonesia sebesar 23,8%—yang tertinggi di ASEAN (Malaysia dan Singapura hanya sekitar 12%). Jika militer terus terkait dengan bisnis, pertumbuhan ekonomi yang formal tidak akan tercapai, malah justru memperbesar ekonomi bayangan. Akibatnya, target 8% hanya akan menjadi angan-angan,” tegasnya.
Indonesia Menuju Negara Militer?
Dalam kerangka analisisnya, Usman Hamid mengutip studi Marcus Mietzner yang menyatakan bahwa kembalinya dominasi militer tidaklah terjadi seketika. Ada gradasi yang memperlihatkan sejauh mana sipil masih bisa mengendalikan atau justru tersubordinasi.
“Saya kira ada banyak studi yang menunjukkan ada gradasi peran militer di dalam pemerintahan. Pertama, tingkat pengaruh, di mana otoritas dan kendali sipil masih tinggi, dan kedudukan TNI di bawah sipil. Kedua, tingkat partisipasi, di mana tingkat kendali sipil lemah atau rendah, tetapi belum ada dominasi militer yang besar. Dan yang ketiga adalah fase di mana militer benar-benar mengendalikan pemerintahan sipil.”
Menurutnya, Indonesia saat ini berada pada fase kedua, sipil masih memegang kendali formal, tetapi resistensi militer terhadap agenda keadilan dan demokrasi begitu kuat. Fase ini, bila dibiarkan, berpotensi menyeret Indonesia menuju pola otoritarianisme baru, bahkan ke arah fasisme.
“Indonesia dalam potret saya—melalui bagaimana resistensi militer atas penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu—berada pada fase yang kedua. Di situlah saya meletakkan arus balik militer itu dalam proses otoritarianisme di Indonesia, yang bahkan melampaui sekadar otokratisasi, melainkan menjadi gejala fasisme.”
Baca Juga: Joki Tugas Kuliah Makin Menjamur, Gimana Solusi Mencegahnya?
Salah satu tanda kemunduran itu adalah kembalinya praktik penyangkalan—persis seperti yang dilakukan militer pada era DOM Aceh, ketika mereka menolak bertanggung jawab atas penemuan kuburan massal dengan alasan bahwa tengkorak yang ditemukan adalah korban 1965. Pola ini muncul kembali saat pemerintah mengabaikan tragedi 1965, kasus perkosaan massal 1998, hingga wacana penulisan ulang sejarah yang menafikan kejahatan-kejahatan negara.
“Hal ini terlihat dari penyangkalan atas Tragedi 1965 yang tidak dimasukkan dalam rancangan penulisan buku sejarah, penyangkalan terhadap perkosaan massal yang terjadi di hari-hari menjelang jatuhnya Presiden Soeharto, dan juga agenda-agenda lain seperti penulisan ulang sejarah.”
“Ini adalah suatu kepemimpinan bergaya militer-fasis yang saya kira cukup perlu kita waspadai,” tandas Usman.
Pernyataan Usman Hamid menegaskan bahwa masalah sipil-militer bukan sekadar soal “dwifungsi” yang diwarisi Orde Baru, melainkan tentang arah demokrasi itu sendiri. Selama resistensi militer terhadap penyelesaian pelanggaran HAM dibiarkan, maka arus balik militer akan terus menggerus ruang sipil. Dari kompromi menjadi kemerosotan, dari otoritarianisme menuju fasisme.
(Editor: Nurul Nur Azizah)
(Sumber Gambar: Sekretariat Negara)






