Ilustrasi jurnalis perempuan Shinta diintimidasi akibat pemberitaan

Cerita Jurnalis Shinta, Diintimidasi Akibat Pemberitaan Isu Keberagaman

Usai memberitakan ‘Patung Bunda Maria Ditutup Terpal’, pimpinan ormas di Yogyakarta mengintimidasinya. Dia ditelepon dan dikirimi pesan protes berkali-kali. Ini bukan pertama terjadi, dia pernah dilecehkan, diteror, sampai terkena doxing akibat pemberitaan.

Tak mau berlarut-larut dalam ketakutan pasca intimidasi, Shinta Maharani memilih terus menulis. Dia terus menjalani profesinya sebagai jurnalis untuk menyuarakan kebenaran. Termasuk, soal isu keberagaman dan toleransi beragama. 

“Masih.. masih menulis. Masih harus waspada, pasti, tapi aku tahu ini risiko aku bekerja sebagai jurnalis, apalagi jurnalis perempuan,” ujarnya saat berbincang dengan Konde.co lewat sambungan telepon, Jumat (19/5).

Tepatnya pada 6 April 2023, Shinta berulang kali mendapat telepon dan pesan WhatsApp dari pimpinan organisasi masyarakat Gerakan Pemuda Ka’bah (GKP) di Yogyakarta, organisasi sayap PPP Yogyakarta. Ia menyatakan keberatan atas pemberitaan Tempo yang dinilai menyudutkan organisasi mereka. 

Intimidasi yang dialami Shinta itu, berkaitan erat dengan pemberitaan yang dia buat satu hari pasca penutupan patung Bunda Maria. Dia melakukan peliputan langsung di rumah Doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus di Padukuhan Degolan, Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta. 

Berita itu terbit pertama kali di majalah Tempo berjudul “Di balik Terpal Patung Bunda Maria” pada 2 April 2023. Laporan lain juga kemudian terbit di Tempo.co, berjudul “Diprotes Ormas, Patung  Bunda Maria Ditutup Terpal saat Bulan Ramadan”.

Tak lama kemudian, Pimpinan ormas GKP DIY protes karena institusinya disebut mengintimidasi dan mengintervensi penutupan patung Bunda Maria tersebut. Ia juga keberatan dengan infografis Tempo yang menggambarkan data serangkaian aksi intoleransi anggota ormas GKP.

Padahal, Jurnalis di media Tempo itu sudah menerapkan metode jurnalistik dan mematuhi aturan kode etik jurnalistik. 

Baca Juga: Penutupan Paksa Patung Bunda Maria: Tindakan Intoleransi 

Dia juga sudah menulis pemberitaan berdasar data, reportase dan wawancara dengan sejumlah narasumber di lapangan. Seperti, wawancara kepada penjaga rumah doa, kepala desa Bumirejo, Koordinator lapangan dan pimpinan ormas, serta Kapolres Kulon Progo dan Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 

Mendapat respons itu, Shinta mempersilakan pimpinan ormas agar menggunakan hak jawab. Yaitu berkirim surat keberatan ke redaksi Tempo atau menempuh jalur sengketa ke Dewan Pers. Namun, penelepon itu tetap tak terima dan bersikeras mendesak Shinta mencabut berita tersebut.

Dalam keterangan persnya, Sabtu (8/4), Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyatakan kecamannya terhadap tindakan intimidasi dan teror terhadap Shinta. 

“Kerja-kerja jurnalistik dilindungi UU Pers,” ujar Erick Tanjung, koordinator KKJ, terdiri dari 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil.

Menurut KKJ, aksi intimidasi ini merupakan upaya membungkam pers dan melanggar pasal 18 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dengan ancaman hukuman maksimal 2 tahun penjara atau denda Rp500 juta.

KKJ juga mengimbau masyarakat untuk menggunakan haknya dalam UU Pers jika merasa keberatan dengan pemberitaan sebuah media. UU Pers mengatur mekanisme hak jawab, hak koreksi, atau melaporkan kasusnya ke Dewan Pers. Peraturan ini diatur dalam pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15 UU Pers.

Kerentanan Ganda Sekaligus Daya Lenting Jurnalis Perempuan

Ini bukan kali pertama Shinta mendapat ancaman dan intimidasi. Sebelumnya, saat meliput peristiwa Wadas, Shinta pernah diintimidasi oleh pendukung tambang. 

Shinta juga pernah bertemu narasumber yang melecehkan secara verbal dan fisik saat meliput isu tambang pasir ilegal Merapi. 

“Aku ditawari penginapan, diajak makan malam berdua,” ceritanya. 

Shinta tak menyangkal, pekerjaan yang dirinya jalani sebagai jurnalis ini memang berisiko. Dalam mengungkap kebenaran, pasti ada kelompok yang merasa tersudut karena kejahatan mereka diungkap. 

Terlebih kata Shinta, jurnalis perempuan selama ini jauh lebih rentan. 

“Dengan situasi lingkungan kita yang sangat patriarkis. Perempuan dianggap lebih lemah, sehingga dianggap boleh dirayu, mendapat kekerasan verbal dan lain-lain,” imbuhnya.

Satu hari setelah ia dikecam pada 6 April 2023, Shinta diteror. Ia kembali ditelepon berkali-kali pada dini hari. Fotonya disebar. Rumahnya dicari. Ia juga diberitahu bahwa anggota ormas bersiap mendatangi kantornya.

“Puncak aku merasa bisa disebut tertekan dan khawatir, itu pas dini hari saat aku lagi sahur, aku ditelpon berkali-kali itu. Ada 13 nomor gak dikenal yang terus-menerus menelpon,” kisah Shinta.

“Aku khawatir orang-orang di sekitarku diserang, keluargaku, teman-teman AJI (Aliansi Jurnalis Independen), teman-teman koresponden. Aku mengkhawatirkan circle-ku,” ujar perempuan yang pernah menjadi Ketua AJI Yogyakarta itu.

Baca Juga: Riset AJI Jakarta: Ada Praktik Ketimpangan Upah antara Jurnalis Perempuan dan Laki-laki 

Shinta adalah satu dari banyak jurnalis perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan dalam menjalankan profesi mereka. 

Riset survei nasional yang dilakukan PR2Media (2021) menemukan, dari 1.256 jurnalis perempuan yang menjadi responden dalam survei nasional, sebanyak 1.077 responden (85,7 persen) pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka, baik itu di ranah digital maupun ranah fisik. Hanya 179 responden (14,3 persen) tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali. 

Dari 1.077 responden, sebanyak 880 jurnalis (70 persen) pernah mengalami kekerasan di ranah digital sekaligus di ranah fisik. Sementara itu, sebanyak 99 orang jurnalis (8 persen) pernah mengalami kekerasan di ranah digital saja dan 98 jurnalis (8 persen) pernah mengalami kekerasan di ranah fisik saja. 

Mengutip Kurnia dalam Jurnalisme “Berita Palsu” & Disinformasi: Konteks Indonesia (2019), riset ini menekankan bahwa intimidasi dan pelecehan terhadap jurnalis perempuan di Indonesia di ranah digital bisa terjadi baik sebagai akibat dari profesinya maupun identitas gendernya. 

Sebagai akibat profesi, jurnalis perempuan mendapat tekanan di ruang digital karena liputannya dianggap tidak sesuai dengan keinginan kelompok penekan. Sebagai akibat identitas gender, jurnalis perempuan lebih banyak mengalami kekerasan di ruang digital dibandingkan dengan jurnalis laki-laki karena dianggap sebagai objek pelecehan atau kekerasan. 

Baca Juga: ‘Kan Sering Meliput, Masa Gak Berani Lapor?’ Sulitnya Jurnalis Kala Jadi Korban Kekerasan Seksual

Riset kemudian juga memaparkan berbagai cara yang dilakukan jurnalis dalam menanggapi kasus kekerasan yang dialami. Cara yang paling banyak dilakukan yakni melaporkan tindakan kekerasan ke atasan atau rekan kerja (52 persen). 

Cara lain, yaitu dengan melaporkan ke organisasi terkait seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan Dewan Pers (29 persen), dan mengajukan tuntutan hukum (10 persen). Respons lain yaitu menyelesaikan secara pribadi (9 persen) seperti menghadapi sendiri, menegur, melakukan diskusi, melancarkan serangan balik, bercerita ke kerabat, dan menuangkannya ke dalam tulisan atau artikel. 

Dari temuan di atas, dapat dilihat bagaimana perempuan memiliki berbagai strategi koping (coping strategy) dalam menghadapi kekerasan yang mereka alami. Padahal, kekerasan yang dialami jurnalis perempuan kerap menimbulkan dampak negatif seperti trauma dan rasa takut berkepanjangan. Kekerasan ini bisa juga menumbuhkan dampak ikutan seperti karier yang terancam bahkan kehilangan nyawa.   

Itu sebabnya beragam faktor, seperti internal (diri) dan eksternal (dukungan perusahaan dan lingkungan sekitar) sangat memengaruhi kemampuan jurnalis perempuan untuk bertahan.

Baca Juga: The Voice: ‘Sepatu Kami Kekecilan’: Gambaran Perjuangan Jurnalis Perempuan di Media

Pasca menerima intimidasi, Shinta sigap memberitahukan ke atasan dan juga ke organisasi tempat ia bernaung, AJI. 

“Keselamatan Shinta tentu jadi prioritas kita. Setiap tekanan maupun ancaman tidak boleh diremehkan, apalagi ormas yang ditulis punya rekam jejak kekerasan,” respons pemimpin redaksi majalah Tempo, seperti diteruskan Shinta ke Konde.co melalui pesan WhatsApp, (19/5).

Tempo kemudian menyediakan rumah aman untuk Shinta dan keluarganya. AJI Indonesia menawarkan pendampingan psikologis. 

“Dengan menari, baca, nonton film, yang membuatku rileks, dan membuatku tenang, aku lakukan,” ucap Shinta saat ditanya apa saja cara lain yang dilakukannya dalam situasi demikian.

“Sekarang sudah lebih baik, sudah liputan, sudah menjalani aktivitas normal,” tambahnya.

Baca Juga: Riset AJI: Tak Ada SOP Khusus Jurnalis Perempuan Saat Liputan Berisiko

Selanjutnya, hal penting yang menurut Shinta harus segera dilakukan ialah memikirkan strategi baru untuk memastikan jurnalis perempuan bisa tetap melaksanakan tugas jurnalistik dengan sebaik-baiknya.

“Kita perlu merancang strategi, dirumuskan bersama, ketika mengangkat isu kelompok marjinal tanpa mengompromikan pentingnya keamanan, ketajaman liputan.”

Telah 15 tahun lamanya Shinta bekerja menjadi jurnalis. Jelas, ia dan para jurnalis perempuan lainnya butuh keamanan dalam menjalankan pekerjaannya. Hal itu tidak akan mungkin didapat jika pemerintah, industri dan organisasi media yang menaungi jurnalis perempuan tidak memberi jaminan akan keamanan tersebut. 

Karena itu, sudah seharusnya pemerintah, perusahaan dan organisasi media bertanggung jawab memastikan perlindungan jurnalis perempuan dari ancaman yang bisa datang dari mana saja. 

Marina Nasution

Jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!